KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Rabu, 19 Oktober 2011

Wajib Menangkap Raja yang Berkhianat.


Facebook : Tasawuf Djawa

Syekh 'Izuddin Ibn 'Abdissalam, ulama tasawuf yang diagungkan, tidak hanya berpangku tangan asyik dengan dirinya sendiri, melainkan sangat peduli terhadap kehidupan masyarakat, sampai-sampai berfatwa: "Wajib menangkap raja-raja Mamaluk yang berkhianat kepada kaum muslimin, rakyat mereka sendiri".

Bukan seperti gambaran salah sebagaimana halnya kisah para Raja tempo dulu, seorang Raja, seorang Kepala Negara, seorang Presiden atau Perdana Menteri dengan jajaran Kabinetnya di era globalisasi sekarang ini, adalah pelayan rakyatnya.

Sesungguhnya sejak awal peradaban Islam, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan empat Khalifah sesudahnya, sudah memberikan teladan bagaimana seorang pemimpin harus memberikan contoh hidup sederhana dan melayani rakyatnya.

Mereka tidur di atas selembar tikar yang kasar, berpakaian dengan hanya dua atau tiga jubah yang dipakai bergantian dan harus ditambal di sana-sini, serta makan hanya dengan roti yang terbuat dari tepung kasar sebagaimana rakyat kebanyakan waktu itu. Bahkan Umar memanggul sendiri serta memasakkan roti untuk rakyatnya yang dijumpainya hidup dalam kemiskinan, sebagai bentuk hukuman terhadap dirinya sendiri.

Kemiskinan menurut Khalifah Ali , “ seandainya itu berupa manusia maka akan kubunuh dia”. Seorang Pemimpin yang hidup bergelimang kemewahan sementara banyak rakyatnya yang masih hidup dalam kubangan kemiskinan, apalagi membuat kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat, sama dengan berlaku tidak adil alias zolim. Sedangkan ketidakadilan ataupun kezoliman haruslah dilawan, jika perlu diperangi.

Maasyaa Allaahu la quwwata illaa billaah.

Selasa, 13 September 2011

PELAKU DOSA JADI IDOLA, KORUPTOR DIPUJA KARENA DERMAWAN

FACEBOOK, Tasawuf Djawa

Menyedihkan sekali, dalam masyarakat yang mayoritas Islam, yang menjunjung tinggi akhlak mulia, yang senantiasa menyerukan untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) ini, uang hasil korupsi, uang hasil sogok-menyogok deng...an dalih komisi, diskon, hadiah sama-sama senang dan sejenisnya yang dinikmati secara pribadi dan tidak kembali ke lembaga, uang hasil judi, uang hasil menjual minuman keras, uang hasil menipu dan rejeki haram lainnya, lebih dihargai dibanding kejujuran. Sungguh sangat memprihatinkan jika para pelaku dosa justru menjadi idola, pengawal serta pengaman jiwa dan harta masyarakat justru berperilaku mirip dengan serigala ganas berbulu domba. Situasi yang mirip dengan saat-saat menjelang kehancuran Majapahit. Bersyukur kita sempat memiliki cendekiawan muslim Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang dalam berbagai kesempatan melakukan koreksi, seharusnya ulama, masjid dan pesantren bisa tumbuh menjadi pondasi dan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak boleh kehilangan independensinya. Jika sudah suntuk dengan situasi ibukota yang seperti itu, biasanya saya lari ke pedesaan, mengadu kepada ustadz-ustadz desa yang tawadhu, yang zuhud dan wara, ke ustadz Mufasir di Barubug, Serang. Ke Abah Endang di Conggeang, Sumedang. Ke Abah Thoyib di Mojokerto, ke ustadz Hasani di Pasuruan, ke ustadz Hambali di Lasem atau ke ustadz-ustadz lain yang dianjurkan oleh beliau-beliau. Di suatu hari beberapa tahun lalu, ustadz Mufasir bercerita, kenalan baik saya, seorang mantan menteri, berkunjung ke beliau untuk minta didoakan agar bisa kembali menjabat sebagai menteri. Kepada kawan saya ini ustadz bertanya, apa yang sudah dilakukannya untuk umat sewaktu menjadi menteri atau pejabat tinggi yang telah menjadikannya kaya raya? Kawan saya menjawab bahwa ia telah membantu berbagai kegiatan keagamaan, mendanai aneka aktivitas keumatan dan masyarakat, membangun pesantren, sekolah Islam dan banyak masjid. Dengan menceritakan pertemuan itu, ustadz Mufasir berpesan wanti-wanti, menasihati dengan sangat agar kita tidak meniru kawan saya tadi, yang berdalih korupsi demi perjuangan umat. Yang membuat teori keseimbangan. Dosa korupsi yang berarti menzalimi rakyat, dalam sangkaannya dapat ditebus dengan beramal memberikan sumbangan ke pesantren, ke kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan serta membangun masjid. Masjid yang dibangunnya, kata ustadz tidak pantas untuk salat, bahkan patut dibakar. Masjid seperti itu lebih buruk dari masjid dhirar yang dibangun oleh orang-orang munafik pada zaman Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah : 108, “Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya”. Nasihat ini sering membuat saya was-was jika harus salat di sebuah masjid yang megah lagi mewah. Saya yang lemah ini resah tiada daya. Betapa tidak, tatkala hendak salat saya mensucikan diri dengan berwudu, tetapi sesudah itu duduk dan bersujud di lantai yang jangan-jangan dibangun dengan sumbangan dari seorang koruptor atau dari hasil perbuatan zalim. Duduk dan bersujud di lantai yang dibangun dengan uang haram. Baginda Rasul bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Umar dan Ahmad, “Barang siapa yang membeli pakaian dengan sepuluh dirham, sedang di dalamnya terdapat dirham dari barang haram, maka Allah tidak akan menerima salatnya selagi pakaian itu ada pada dirinya”. Nah, ini bukan lagi pakaiannya, bahkan tempat sujudnya. Naudzubillah. (Gbr : Serigala berbulu domba dari Google Images)

Sabtu, 16 Juli 2011

PERCAYAKAH PADA JANJI ALLAH SWT? Kenapa Umat Islam Terpuruk

FACEBOOK, Tasawuf Djawa

Syahdan semenjak awal Orde Baru pada pertengahan 1960-an sampai sekarang, setiap tahun kita atau setidaknya saya, mengalami cuci otak oleh berita-berita utama media massa Indonesia tentang kisah sukses dalam berhutang. Saya sendiri bahkan sempat menjadi wartawan yang harus meliputnya. Menjadi saksi dari sebuah ironi, sementara delegasi-delegasi negara-negara pemberi hutang tinggal di hotel-hotel sederhana, yang dekat dengan tempat persidangan, sehingga bisa berjalan kaki, atau naik taksi atau mengendarai mobil sederhana, delegasi Indonesia yang berhutang, tinggal di hotel berbintang lima yang bergengsi dengan menyewa limousine nan mewah.

Pada Sidang Konsultasi Negara-negara Donor untuk Indonesia di Paris tahun 1996 misalnya, saya sempat terperangah melihat salah seorang anggota delegasi Australia, yaitu Dr. Peter Mc. Cawley hadir hanya dengan menggunakan sepatu sandal dan baju batik dari bahan katun yang sangat sederhana. Masya Allah. Dan sampai sekarang, entah ini ironi juga atau bukan, saya belum pernah mendengar, baik ulama, tokoh-tokoh umat Islam lebih-lebih lagi partai Islam di Dewan Perwakilan Rakyat, membahas ketergantungan Indonesia pada hutang luar negeri berdasarkan nilai-nilai keislaman. Mudah-mudahan pendapat saya ini salah.

Untuk apa saya ceritakan semua itu? Inilah kaitannya. Gusti Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi, bahkan di seluruh jagad raya ini telah berulang kali menjanjikan di dalam Al Qur’an, akan menganugerahkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia maupun di akhirat, untuk mewariskan bumi ini kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Cobalah kaji beberapa contoh berikut ini : “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya agar kamu diberi rahmat” (Ali Imran : 132) Kemudian Al-Anbiya : 105, “Dan sungguh Kami telah menetapkan di dalam Zabur sesudah peringatan (Taurat) bahwa sesungguhnya bumi akan diwarisi hamba-hambaKu yang saleh”. Selanjutnya lebih tegas lagi adalah An Nuur : 52, 54 dan 55. Ayat 52 dan 54 memerintahkan sekaligus menjanjikan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan diberikan kemenangan, yang diuraikan lagi dalam ayat 55 sebagai berikut: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka pimpinan di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka, dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembahKu, tidak menyekutukanKu dengan sesuatu. Dan barang siapa yang ingkar sesudah demikian itu, maka mereka itulah orang yang fasik”.

Masih banyak lagi ayat-ayat yang memuat janji-janji Allah untuk memudahkan jalan keluar dari berbagai kesulitan, memberi rejeki yang tiada disangka-sangka datangnya, melimpahkan barokah-Nya dari langit dan dari bumi, membuat hamba-hamba-Nya tidak akan merasa khawatir dan tidak pula bersedih hati, memberikan pembeda yang benar dan yang salah, menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan serta menganugerahkan pahala yang baik di akherat kelak. Dan “Tidak ada perubahan dari janji-janji Allah” (Yunus: 64).

Demikian tegas janji-janji Allah, bahkan diulang-ulang. Tetapi mengapa umat Islam terpuruk kehidupannya di dunia? Mengapa banyak diantara kita yang hidup menderita, miskin dan papa? Bodoh dan terbelakang? Didera berbagai wabah penyakit dan bencana. Maasyaa Allaah.

Minggu, 10 Juli 2011

Lomba dan Pameran Foto Kebudayaan Indonesia 2011

Lomba dan Pameran Foto Kebudayaan Indonesia 2011

Petunjuk Teknis
Memperebutkan Piala Presiden dan Uang Pembinaan
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan karakter dan jati diri bagi setiap bangsa. Bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote dengan keunikan dan identitas masing-masing. Keragaman Budaya tersebut harus didokumentasikan dan dipublikasikan kepada masyarakat sehingga timbul peduli untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.
Lomba dan Pameran Foto Kebudayaan Indonesia merupakan wahana yang efektif dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan hasil-hasil kebudayaan. Foto di samping sebagai alat dokumentasi juga sebagai media komunikasi visual  mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebarluasan informasi.
B. Tujuan
  1. Memberikan ruang ekspresi dan apresiasi kepada masyarakat pecinta fotografi untuk dapat meningkatkan kreativitas dalam pengambilan objek budaya.
  2. Mendorong tumbuhya rasa cinta terhadap hasil budaya bangsa Indonesia baik yang diwariskan nenek moyang , maupun yang sedang berkembang saat ini.
  3. Menginventarisasi dan mendokumentasikan keragaman budaya Indonesia yang tersebar di 33 provinsi.
  4. Memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
C. Tema
“Wonderful Indonesia”
D. Kategori Peserta Lomba
  1. Pelajar
  2. Mahasiswa
  3. Umum
E. Ketentuan Umum:
  1. Lomba ini terbuka untuk pelajar, mahasiswa, dan umum, Warga Negara Indonesia;
  2. Tidak dipungut biaya;
  3. Karya foto yang dikirim adalah karya ciptaan sendiri, belum pernah dipublikasikan di media cetak skala nasional dan belum pernah memenangkan penghargaan dalam lomba fotografi tingkat nasional atau internasional;
  4. Foto yang diikutsertakan dalam lomba adalah hasil foto yang benar-benar dari pemotretan baik menggunakan kamera digital atau kamera analog (kamera film);
  5. Peserta diberikan kebebasan dalam memilih objek hasil-hasil kebudayaan bangsa Indonesia  yang tersebar di seluruh tanah air;
  6. Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal 5 buah karya foto;
  7. Olah digital diperbolehkan, sebatas perbaikan kualitas foto tanpa merubah keaslian objek (sharpening, cropping, color balance, dan saturasi warna);
  8. Tidak diperbolehkan mengirimkan foto berupa kombinasi lebih dari satu foto atau menghilangkan/mengubah elemen-elemen dalam satu foto;
  9. Setiap foto harus dilengkapi identitas diri peserta seperti: kategori, nama fotografer, judul foto, alamat, nomor telepon/hp, e-mail atau secara terpisah dilampiri diskripsi karya dan fotokopi identitas diri seperti kartu pelajar, kartu mahasiswa, KTP, SIM atau surat keterangan lainnya;
  10. Hak cipta melekat pada fotografer, namun Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata diberikan hak untuk mempublikasikan semua foto yang masuk ke Panitia untuk kepentingan non-komersial tanpa harus ijin dari pemiliknya. Panitia dibebaskan tuntutan pihak III bila foto digunakan untuk kepentingan komersial;
  11. Foto yang dikirim ke Panitia tidak dikembalikan dan menjadi koleksi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata;
  12. Tata cara/prosedur pengiriman karya:
    Karya foto diperkecil (resize) dengan ukuran sisi terpanjang 1024 pixel, disimpan dalam JPG skala 6, dan dikirim ke Panitia melalui e-mail dengan alamat: lombafotonasional2011@senimedia.org / lombafotonasional2011@gmail.com
  13. Pengiriman karya dimulai  bulan Juni 2011 dan ditutup tanggal 29 Juli 2011 pukul 19.00 WIB;
  14. Dengan mengirimkan karya foto berarti peserta telah dianggap menyetujui semua persyaratan yang telah ditetapkan oleh Panitia;
  15. Panitia berhak mendiskualifikasi peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap melakukan kecurangan;
  16. Seleksi karya untuk memilih 30 nominator, yang terdiri dari 10 foto kategori  pelajar, 10 foto kategori mahasiswa, dan 10 foto kategori umum, pada   tanggal 1 Agustus 2011;
  17. Para nominator akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti workshop dan hunting  pemotretan pada tanggal 16 – 17 Agustus 2011;
  18. Panitia akan menanggung biaya transportasi peserta (dari daerah asal ke Jakarta P.P.)  yang terpilih sebagai nominator, transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi selama mengikuti workshop dan hunting  pemotretan di Jakarta.
  19. Pengumuman pemenang pada tanggal 17 Agustus 2011;
  20. Penyerahan hadiah pada tanggal 18 Agustus 2011;
  21. Pajak (PPh) hadiah ditanggung pemenang;
  22. Keputusan dewan juri mutlak tidak dapat diganggu gugat;
  23. Panitia akan memilih 40 karya foto terbaik dari setiap kategori yang layak untuk dipamerkan bersama dengan 30 karya nominator, pemenang Lomba Cipta Seni Pelajar, dan karya-karya foto undangan;
  24. Pameran akan dilaksanakan pada tanggal 18 – 20 Agustus 2011 di Jakarta;
  25. Untuk informasi Lomba peserta dapat mengunjungi Website: www.senimedia.org
  26. Koordinasi lebih lanjut dapat menghubungi:
    Pustanto telp. 021 – 5725561, 0811831866.
    Yusuf Hartanto telp. 08176011066 atau
    Subdit Seni Media, Direktorat Kesenian Gedung “E” Lantai 9, Komplek Kemendiknas.
    Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270. Telepon/faksimili: (021) 5725561, 5725534
F. Hadiah
  1. Pelajar mendapatkan hadiah:
    • Juara I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 10.000.000
    • Juara II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 5.000.000
    • Juara III:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 4.000.000
    • Harapan I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 3.000.000
    • Harapan II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 2.000.000
  2. Mahasiswa mendapatkan hadiah:
    • Juara I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 15.000.000
    • Juara II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 8.000.000
    • Juara III:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 6.000.000
    • Harapan I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 4.000.000
    • Harapan II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 2.000.000
  3. Umum  mendapatkan hadiah:
    • Juara I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 20.000.000
    • Juara II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 10.000.000
    • Juara III:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 7.500.000
    • Harapan I:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 5.000.000
    • Harapan II:  Piala Presiden, piagam dan uang sebesar Rp. 3.000.000
G. Kriteria Penilaian
  • Kesesuaian Tema (isi foto)
  • Daya tarik
  • Keunikan
  • Harmonisasi
H. Juri Lomba
  1. Arbain Rambey (Fotografer, Editor Foto Kompas, Jakarta)
  2. Darwis Triadi (Fotografer dan Dosen, Jakarta)
  3. Ferry Ardiyanto (Fotografer dan Dosen Universitas Trisakti, Jakarta)
  4. Goenadi Haryanto (Fotografer dan Dosen, Jakarta)
  5. Sri Bimo Seloaji (Fotografer, Jakarta)
I. Penutup
Hal-hal yang belum tercantum dalam Petunjuk Teknis ini, akan diberitahukan lebih lanjut. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Selasa, 21 Juni 2011

Fotojurnalis, Melakukan Segala dengan Kameranya

FOTOMEDIA, Mei 2003, kr/arb

Dalam banyak diskusi fotografi, umumnya dengan kelompok-kelompok fotografi mahasiswa, pertanyaan ini hampir selalu muncul : "Dalam suatu keadaan tertentu di mana ada orang dalam kesulitan, seorang fotografer sebaiknya menolong atau memotret?"
Coba kita simak kasus Kevin Carter, fotografer lepas untuk kantor berita Reuters dan Sygma Photos New York di Afrika Selatan. Pada awal tahun 1993, Carter mendapat tugas meliput kasus kelaparan besar di Sudan. Banyak foto yang dihasilkan Carter dari liputannya ini. Dan sebuah foto dari liputannya itu kemudian mendapat hadiah sangat bergengsi untuk fotojurnalis, Hadiah Pulitzer pada tahun 1994.
Fotonya yang memenangkan hadiah itu adalah gambar seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan menuju posko pembagian makanan. Di dekat anak itu, seekor burung pemakan bangkai menunggu, seakan yakin bahwa anak kecil itu sebentar lagi menjadi santapannya.
Saat menerima Hadiah Pulitzer di New York tanggal 23 Mei 1994 di New York, tidak ada yang menyangka bahwa Carter telah menyimpan kesedihan tersendiri. Kepada beberapa temannya, Carter mengatakan bahwa ia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu. Ia kuatir kalau anak itu betul-betul dimakan burung pemakan bangkai. Jadi, saat menerima Hadiah Pulitzer itu sebenarnya Carter telah mengalami penderitaan batin yang dalam. Dua bulan kemudian, ia ditemukan mati bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam sebuah surat yang ditinggalkannya, Carter menegaskan bahwa ia mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya dibandingkan kewajiban kemanusiaan.
Nasib Carter di atas bisa dikatakan sebagai sebuah kasus ekstrim untuk pekerjaan seorang fotojurnalis pada masalah membenturkan etika profesi dan etika moral. Kasus Carter ini menjadi makin menarik karena setelah Carter bunuh diri, diberitakan bahwa anak dalam foto Carter itu ternyata masih segar bugar, sama sekali tidak menjadi santapan burung pemakan bangkai seperti yang dibayangkan Carter.
Namun kasus lain yang lebih kecil bisa saja dialami fotojurnalis di mana pun termasuk di Indonesia. Tulisan ini tidak akan memberikan penegasan pada pilihan yang harus diambil seorang fotojurnalis, namun mengajak berpikir bahwa dengan kameranya sebenarnya seorang fotojurnalis bisa berbuat lebih banyak daripada sekadar menolong secara langsung.

Menghentikan perang
Pada perang Vietnam, Edward Adams yang biasa dipanggil Eddie Adams dari kantor berita Associated Press, AS, berniat memotret ganasnya perang di Saigon. Waktu itu tanggal 1 Februari 1968 adalah Hari Raya Tet, hari yang dianggap suci oleh orang Vietnam. Tidak ada yang menyangka bahwa pasukan Vietcong menyerang Saigon justru pada hari itu. Perang ini kemudian dikenal dengan "Tet Offensive".
Di tengah hiruk pikuk perang kota di Saigon, Adams melihat serombongan polisi Vietnam membawa seorang tawanan. Rombongan itu lalu berbelok ke sebuah lorong. Adams memutuskan untuk mengikuti rombongan itu dan meninggalkan adegan perang yang sedang seru di tengah.
Rombongan berhenti di sebuah sudut dimana sebuah jip menunggu. Dari dalam jip, Kepala Polisi Vietnam, Brigjen Nguyen Ngoc Loan turun dan langsung menghampiri tawanan yang dituduh sebagai salah satu pemimpin penyusupan Veitcong ini. Para Polisi lain segera menyingkir melihat Loan berjalan perlahan menuju sang tawanan yang tangannya terikat di belakang badannya ini.
Naluri Adams mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu. Ia menyiapkan Nikon F-2nya yang terisi film B/W Kodak Tri X Pan. Dan kemudian dalam hitungan waktu sangat singkat, Loan mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menembak kepala tawanan itu dalam jarak yang sangat dekat. Waktu sangat singkat, namun Adams mendapatkan gambar adegan itu, bahkan foto itu memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1969.
Waktu Eddie Adams ke Jakarta pada tahun 1995, ia bercerita bahwa sejak sang tawanan didekati Loan, dirinya sudah merasa akan terjadi pembunuhan jalanan. "Yang bisa saya lakukan adalah memotret," kata Adams.
Sebelum kita membahas masalah yang ada di balik foto Adams lebih jauh lagi, kita lihat lagi sebuah kejadian yang masih di Perang Vietnam. Kejadian terjadi kira-kira empat tahun setelah Tet Offensive tadi.
Waktu itu 8 Juni 1972, Kota Trang Bang sekitar 40 kilometer barat Saigon sudah dikuasai Vietcong. Pasukan Vietnam Utara ini menutup akses darat dari Trang Bang ke Saigon lewat Jalan Raya nomor 1. Dengan blokade itu, otomatis terjadi kelumpuhan di ruas Trang Bang-Saigon. Maka pasukan Veitnam Selatan minta bantuan angkatan udaranya yang dibantu pasukan AS untuk melakukan pengeboman terhadap posisi Vietcong di sana.
Terjadi kesalahan besar, Bom Napalm (yang biasa juga disebut bom bensin) jatuh di wilayah pengungsi Vietnam Selatan yang sedang meninggalkan Trang Bang. Banyak sekali korban jatuh. Seorang fotografer asal Vietnam Selatan, Huynh Cong Ut, atau yang biasa dipanggil teman-temannya dengan "Nick Ut" sedang berjalan kaki dari Saigon ke Trang Bang. Ia dengan jelas melihat semua adegan dengan lengkap, sejak pesawat pembom meninggalkan Saigon sampai dengan adegan pembomannya.
Rombongan orang yang terluka oleh Napalm salah sasaran itu melewati Nick Ut, termasuk seorang gadis kecil Phan Thi Kim Phuc yang telanjang bulat. Pakaian gadis itu sudah terbakar habis, sementara punggungnya penuh luka bakar.
Nick Ut merasa tidak bisa berbuat apa-apa pada luka-luka yang diderita Phan. Ia berangkat ke Trang Bang memang dengan tujuan membuat liputan semata. Nick Ut tidak membawa peralatan P3K apa pun selain kamera Leicanya yang terisi film B/W Kodak Tri X Pan. Nick Ut akhirnya memotret adegan Phan sedang berlari itu, dan fotonya ini meraih Hadiah Pulitzer tahun 1973.

Efek Jangka Panjang
Ada dua hal penting yang terjadi akibat foto-foto yang dibuat Eddie Adams dan Nick Ut tadi. Foto Adams membuat orang-orang Amerika marah pada Perang Vietnam. Foto penembakan jalanan tanpa pengadilan yang dilakukan Kepala Polisi Loan itu telah membeberkan kebobrokan perang secara umum. Dalam sebuah ulasan tentang foto Adams itu tertulis komentar begini: "Kami semua jadi ragu. Demokrasi dan kebebasan seperti inikah yang dibela Amerika?"
Foto Adams itu dan juga ulasan-ulasan yang kemudian muncul di berbagai surat kabar membuat para warga AS yang notabene membayar pajak untuk membiayai Perang Vietnam marah. Mereka mulai bertanya-tanya pada motivasi AS terlibat di Vietnam. Keganasan jalanan yang direkam Adams diyakini hanya sebagian dari keganasan yang sebenarnya terjadi. Dan keganasan itu jauh dari misi yang digembar-gemborkan pemerintah AS untuk menyakinkan warganya pada keterlibatan negara adidaya itu di Vietnam.
Puncak kemarahan warga AS pada Perang Vietnam makin menjadi setelah foto Nick Ut tercetak di berbagai media massa. Warga AS melihat kesalahan pengeboman itu sudah tidak bisa ditolerir lagi. AS meninggalkan Vietnam tidak lama kemudian.
Pada kasus foto Eddie Adams dan Nick Ut, terlihat bahwa kedua fotografer memang teguh tugas yang diembannya, yaitu memotret. Adams tidak menolong orang yang dihukum mati di jalanan itu selain karena dia tidak punya cukup legitimasi untuk menghentikannya, ia juga merasa yakin bisa "menolong" dengan cara lain. Dengan memotret adegan itu lalu mengedarkannya, Adams merasa telah berbuat sesuatu yang jauh lebih besar kadarnya daripada sekedar berusaha berteriak-teriak agar hukuman mati jalanan itu tidak dilaksanakan.
Yang dilakukan Nick Ut pun tidak jauh berbeda. Ia lebih memilih memotret karena memang pilihannya hanya itu. Namun, dengan mengedarkan fotonya ke seluruh dunia, "pertolongan" yang lebih besar telah datang ke Vietnam. Pada akhir tahun 90-an lalu, Nick Ut mencari Phan Thi Kim Phuc yang telah menikah dengan warga Kanada. Ia memotret lagi Phan yang sedang menggendong bayinya. Punggung Phan yang tampak "mengerikan" akibat bekas terbakar pada 30 tahun sebelumnya diekspos Nick Ut dengan baik. Dan dengan fotonya itu, kembali Nick Ut mendapat penghargaan.
Bagi seorang fotojurnalis, kewajiban di lapangan adalah memotret. Dalam peristiwa bencana alam misalnya. Seorang fotojurnalis harus mengutamakan tugas memotret. Dengan foto-fotonya, ia bisa memberitakan realitas sebuah bencana kepada semua orang. Tanpa fotonya, orang di luar tidak akan tahu bahwa ada bencana alam di suatu tempat.
Sebuah foto bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa yang tidak terbayangkan siapa pun. Foto karya Adams dan Nick Ut adalah contoh bagaimana foto bisa mempercepat berhentinya perang. Jadi, seorang fotojurnalis harus yakin bahwa dengan kameranya ia bisa berbuat banyak. Kamera adalah senjata yang ampuh di tangan fotojurnalis yang baik. (kr/arb)

Jumat, 20 Mei 2011

SISTEM ZONA ala ANSEL ADAMS

FOTOMEDIA. No. 4, 1994. ARBAIN RAMBEY

Untuk memahami sistem zona Ansel Adams, kita harus sudah memahami kerja di kamar gelap yang meliputi peoses cuci dan cetak hitam putih. Selain itu, sistem zona mengharuskan kita mempunyai suatu standar baku yang jelas tolok ukurnya.
Pertama, kita harus menentukan posisi standar alat pembesar (enlarger) kita. Tandai ketinggian posisi pilihan kita itu agar kalau kita mencetak foto, ketinggian standarlah yang dipakai. Beda ketinggian posisi lensa enlarger, berarti beda pula intensitas penyinaran saat mencetak.
Kedua, kita standarkan pula bukaan diafragma enlarger yang kita pakai. Kalau kita memutuskan memakai f/8, pakailah selalu bukaan ini untuk mencetak kapanpun.
Ketiga, kita standarkan tingkat kontras kertas yang akan kita pakai. Sekali kita memutuskan memakai kertas grade 3, pakailah selalu kertas kelas ini.
Dan keempat, biasakanlah mamakai obat-obat kamar gelap yang dicampur dengan pas, serta selalu segar. Jangan lupa pula untuk menstandarkan suhu kamar gelap dan juga obat-obatan yang dipakai.
Setelah kita menstandarkan segala perlengkapan, kini saatnya kita menata film dan lama pencahayaan standar kita. Sekali kita memutuskan memakai sebuah merek film, pakailah merek itu terus. Dan sekali kita memakai suatu ISO tertentu, pakai pula ISO itu untuk seterusnya. Warna hitam mutlak pada kertas foto terbentuk akibat penyinaran dari bagian negatif yang bening. Untuk itu, kita harus memiliki satu bingkai dari film yang sama sekali tidak pernah disinari sehingga ia bening total. Negatif bening total ini berguna untuk mencari tolok ukur berapa lama kita harus menyinari kertas sampai mendapatkan warna hitam mutlak.
Dari film yang bening total itu, kita membuat cetakan ke kertas pada setelan standar di atas. Buat beberapa cetakan, paling baik dengan cara test stripes pada satu lembar kertas. Beda lama penyinaran antara cetakan yang satu dengan yang lain buatlah teratur, misalnya selang dua detik.
Perhatikan cetakan-cetakan kita. Pada suatu saat tertentu, warna hitam sudah tidak bisa bertambah lagi. Dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi hitam mutlak ini adalah waktu yang tepat untuk penyinaran-penyinaran pada pencetakan foto kita.
Sekarang kita mulai mengukur berapa sebenarnya ISO film yang kita pakai. Cara ini tidak lazim pada foto warna, namun pada foto hitam putih sering terjadi bahwa ISO yang tertera di kemasan tidak selalu tepat seperti tercantum pada film.
Potretlah sebuah grey card pada penyinaran yang rata. Lalu cetak foto grey card tadi dengan lama penyinaran yang telah kita dapat. Buat lagi beberapa cetakan dengan penyinaran yang over dan juga under sampai beberapa stop, dengan mengubah bukaan diafragma lensa enlarger. Jangan mengubah-ubah lamanya penyinaran.
Perhatikan, dari beberapa cetakan, mana yang paling mirip dengan grey card asli. Biasanya, pencetakan dengan waktu standar justru bukanlah yang mirip. Inilah fakta bahwa sebenarnya angka ISO yang tertera di kemasan film tidak tepat seperti itu.
Kalau misalnya cetakan yang mirip dengan grey card asli adalah yang under satu stop, berarti ISO film kita lebih tinggi satu tingkat daripada yang tertera di kemasannya. Misalkan di kemasan tertera sebagai ISO-100, lain kali kalau dipakai memotret anggaplah sebagai ISO-200.
Saat kita memotret, pergunakanlah setelan ISO seperti hasil pengukuran kita, dan kalau mencetak pergunakanlah lama waktu standar yang kita peroleh pada pencetakan hitam mutlak.
Setelah itu, kita perlu membuat tabel sistem zona. Kita cetak lagi foto grey card dengan beberapa kombinasi bukaan. Kita harus mendapatkan bermacam cetakan dari yang hitam pekat sampai yang putih total.
Cetakan-cetakan inilah yang disebut tabel sistem zona, dan dapat kita gunakan untuk memperkirakan tone dalam suatu pemotretan.
Ansel Adams membagi berbagai gradasi foto dalam sepuluh zona, yaitu dari zona nol sampai zona sembilan. Yang disebut zona nol adalah hitam total maksimal yang bisa dicapai kertas foto, sedangkan zona sembilan adalah putih total pada kertas foto yang belum pernah tersinari sama sekali.
Zona 0-3 biasa disebut zona bayangan, zona 4-6 adalah zona menengah yang biasanya menjadi "terjemahan" warna-warna merah, biru atau hijau, sedangkan zona 7-9 adalah zona highlights atau zona terang untuk pantulan-pantulan warna atau tekstur yang sangat tipis.
Teori zona Ansel Adams memang tidak mudah untuk dipahami apalagi oleh pemula. Para pakar foto pun tidak begitu saja bisa menandingi Ansel Adams walau teorinya telah dibahas di mana-mana. Cara Adams memang cara sangat teliti dan akurat.
Selain sangat berbakat, Ansel telah membekali dirinya dengan ketekunan yang tidak kenal lelah dalam waktu sangat lama. Ia fotografer besar yang sulit dicari tandingannya. (ARB)

ANSEL ADAMS, MAESTRO FOTO HITAM PUTIH

FOTOMEDIA. No. 4, 1994. ARBAIN RAMBEY

Siapapun yang tidak kenal nama Ansel Adams, sulit untuk mengklaim bahwa dirinya adalah penggemar fotografi hitam putih. Ansel Adams yang fotografer asal AS ini, bisa dikatakan merupakan salah satu fotografer hitam putih yang paling menonjol.
Karya-karya Adams yang hampir semua merupakan foto pemandangan dan alam benda, sangat indah dan khas. Kehalusan detil, kontras foto dan juga keunggulan teknis lain pada foto-foto karyanya sulit ditiru atau bahkan disamai siapapun.
Dalam foto-foto karya Adams, semua nada muncul dengan sangat pas. Hitam pekat sampai putih total semuanya tersaji dalam porsi yang sebaiknya jangan diubah lagi. Dan itulah sebabnya hampir semua cetakan asli karya Adams berharga sampai jutaan rupiah perlembarnya.
Popularitas Adams didapat dari usahanya yang sangat keras di bidang fotografi hitam putih. Ia sangat intens dalam mempelajari sifat-sifat film dan kertas hitam putih. Pendalamannya yang merupakan gabungan antara teori dasar fotografi dan pengalaman empiris itu, akhirnya membuahkan teori sistem zona (zone system) yang banyak dianut para fotografer hitam putih di dunia.
Pendekatan yang dilakukan Adams dalam menghasilkan sebuah foto adalah proses-proses yang tidak sederhana. Bagi fotografer otodidak ini, sebuah foto adalah media analisis. Foto adalah aksi manusia atas kesadarannya pada alam, seperti dikatakan Adams dalam sebuah publikasi cetak perusahaan peralatan fotografi Hasselblad dari Swedia.
Bagi Adams, fotografi adalah seni mengamati suatu keadaan, dan efektivitas fotografi ditentukan oleh kuat dan intensnya sebuah pengamatan. Hanya pengamatan dan keputusan hasil pengamatan yang kuat yang akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi sangat terbatas yaitu cuma tersaji pada sehelai kertas, namun dengan keterbatasannya itu, kalau diolah dengan benar sebuah foto justru akan memiliki kekuatan yang sangat besar.
Dengan definisi tentang pengolahan dari pengalaman itu, Adams mengatakan bahwa tidak ada teori komposisi yang bisa dianut.
"Tidak ada hukum pasti tentang komposisi dalam fotografi. Yang ada hanyalah foto baik atau foto buruk!." kata Adams. Ucapannya itu seakan menegaskan bahwa foto yang baik itu memang baik, bukan karena komposisinya atau hal-hal lain.
Ucapan Adams barangkali banyak benernya. Karya-karya fotografer top biasanya memang mengabaikan teori komposisi. Alex Webb dari kantor berita foto Magnum misalnya, justru sering dengan sengaja memasang sebuah pohon hitam melintang di tengah fotonya, namun justru menghasilkan foto yang menarik. Fotografer pemenang Pulitzer, Eddie Adams, bahkan mengatakan bahwa untuk belajar komposisi sebaiknya sering melihat komik.
Sebenarnya, foto karya Ansel Adams sudah tercipta sebelum ia menjepretkan rana kamera format besarnya (sejak beberapa tahun lalu Ansel Adams juga menggunakan kamera medium format).
Sebelum memotret suatu pemandangan misalnya, di otak Adams telah berlangsung berbagai visualisasi pada hasil final fotonya nanti. Inti utama rancangan visualisasi dalam otak Adams adalah bagaimana agar foto karyanya bisa memiliki definite departure from reality (tidak seperti yang dilihat mata pada pemandangan aslinya).
Dengan berbagai rancangan yang sangat matang sebelum menjepretkan rana, foto-foto Adams memang hampir tidak memerlukan rekayasa kamar gelap seperti dodging, burning atau mengganti-ganti tingkat kontras kertas.
Rekayasa yang dilakukan Adams memang terjadi tidak di kamar gelap, namun di dalam proses kreatifnya selama bertahun-tahun. Pengalamannya dalam berbagai pendekatan, pemotretan dan pencetakan, membuatnya betul-betul tahu kapan bisa menjepretkan rana untuk menghasilkan negatif prima.
"Pendekatan fotografi saya membutuhkan keseriusan dan juga tekad untuk memahami teori dasar fotografi sedalam-dalamnya. Memang ini membutuhkan waktu yang lama, namun saya rasa hanya cara ini yang bisa dilakukan," demikian Adams tentang pengalamannya.
Secara tegas Adams mengatakan bahwa teori dasar fotografi harus dipahami fotografer manapun untuk bisa maju dan mampu mendapatkan gaya khas. Tanpa memahami teori dasar fotografi, seorang fotografer tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Namun seperti telah disinggung di atas, Adams memang tidak mendasarkan kemampuannya semata dari teori. Ia menambahkan pengalaman empiris yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Pengalaman empiris hasil penelitian Adams yang paling menonjol adalah pemahamannya yang sangat dalam pada kemampuan kertas foto "menampung" gradasi yang ada di alam nyata. Juga sistem zona.
Dalam penelitian Adams, kontras yang terjadi di alam antara keadaan sangat terang dan sangat gelap berbanding antara 1600 banding 1. Artinya, bagian paling terang di alam 1600 kali lebih cerah daripada bagian tergelap.
Sedangkan kertas foto cuma mampu menampung perbandingan kecerahan 1 : 50. Daya tarik utama foto-foto Adams terjadi karena ia mampu menerjemahkan perbedaan perbandingan itu dengan baik, antara lain dengan bantuan sistem zonanya.
Secara urut, beginilah tahap-tahap yang dilakukan Ansel Adams dalam menghasilkan sebuah karya foto.

1. Perhatikan "daerah" yang akan dipotret, dan batasi dengan baik. Kenali baik-baik daerah itu, cari bagian mana yang paling gelap. Jangan mudah terkecoh. Secara sekilas kita akan mengira bahwa kain hitam adalah bagian tergelap pada sebuah foto.
Kenyataannya, kain hitam kalau dipotret dan lalu dicetak dengan benar, hanya akan menghasilkan abu-abu tua. Dari pengalaman, bayangan biasanya merupakan bagian tergelap dari sebuah foto. Benda-benda lain yang berwarna hitam sebenarnya hanya abu-abu dalam fotonya nanti. Pengalaman akan mengajari kita memahami hal ini.
Kalau kita ingin sedikit mendapatkan kepastian tentang benda yang akan tampak hitam dalam foto, ambillah sebuah kartu pos lalu letakkan di atas lampu minyak sehingga ia menjadi hitam tertutup jelaga. Hitamnya jelaga nyaris merupakan hitam mutlak dalam foto hitam putih.

2. Sekarang perhatikan bagian paling terang pada daerah yang akan kita potret. Sama halnya seperti saat mencari bagian paling gelap, kita harus waspada agar tidak terkecoh. Kertas putih sering justru menghasilkan abu-abu muda pada foto.
Kilatan logam yang memantulkan sinar matahari bisa dikatakan akan menghasilkan warna putih total pada foto.

3. Setelah mendapatkan dua bagian ekstrem pada daerah yang akan kita potret, pikirkan bagaimana "meringkas" jarak kedua kecerahan ekstrem itu ke dalam negatif film. dan juga ke kertas fotonya nanti.
Usahakan bijaksana memahami hal itu. Sebuah sendok yang mengkilat akan menjadi bagian terputih pada foto kita, namun misalnya sendok itu tidak jadi ikut dipotret, sebuah taplak putih di bawah sendok haruslah menjadi bagian terputih dari foto kita nanti.
Pemahaman keadaan relatif ini perlu sebab foto hitam putih memang menerjemahkan apa yang ada di alam semata ke dalam nuansa hitam putih. Selain itu, Adams memang mengatakan bahwa pada foto hitam putih, walau memotret keadaan nyata, haruslah tampak tidak seperti mata melihat. Harus ada nilai tambah secara visual, terutama karena foto itu menyandang predikat sebagai sebuah karya.

4. Setelah mendapatkan "kunci" kedua keadaan ekstrem, kita telusuri gradasi tengahnya. Sebaiknya pemotret membekali dirinya dengan grey card (kartu abu-abu 18 persen yang biasanya dijadikan tolok ukur pencahayaan).
Bandingkan bagian paling terang dan bagian tergelap dengan gray card tadi. Dengan membuat perbandingan secara visual tadi, efek subjektif sudah terjadi di benak fotografer.
Selain itu, pemotret juga harus sudah paham perbandingan "nada" antarwarna. Bagaimana bila warna merah diletakkan di atas dasar hijau atau biru, demikian pula sebaliknya. Ada efek visual yang terjadi di mata antara merah di atas dasar biru atau merah di atas dasar hijau, walau dalam kenyataannya warna itu tidak berubah.
Pemahaman berbagai gradasi nada itulah yang membuat Adams sulit ditandingi siapapun, terutama untuk foto hitam putih.
Ansel Adams pertama kali mengenal fotografi pada usia 14 tahun di tahun 1916. Ia begitu terpesona pada keindahan taman nasional AS, Yosemite Valley di California. Ia banyak memotret di sana dengan kamera Kodak Brownie. Sampai beberapa tahun kemudian pun, foto-foto terbaik Ansel dibuat di Yosemite Valley.
Setelah itu, Ansel belajar teori fotografi secara sangat serius sampai menguasai segala tetek-bengek kamar gelap. Pada tahun 1930 ia telah menjadi salah seorang fotografer AS terkemuka dan melakukan pameran tunggal di Alfred Stieglitz's Gallery dengan judul, "An American Place".
Fotografer yang sangat mempengaruhi Ansel Adams adalah Paul Strand. Selain itu ia juga pernah bekerja sama dengan fotografer lain, Edward Weston, dalam waktu lama. Weston inilah yang mengenalkan proses cetak yang sangat teliti pada Adams.
Dua foto Ansel Adams yang paling terkenal adalah Banner Peak buatan tahun 1923 dan The Half Dome buatan tahun 1926. Kedua foto ini menampilkan kehalusan detil yang luar biasa, yang didapat dari proses kamar gelap yang sangat akurat. (ARBAIN RAMBEY)

Kamis, 19 Mei 2011

MENYELINAP KE PENJARA MENGABADIKAN KEMATIAN

FOTOMEDIA. No. 1, 1994. Eduardo A. Wibowo

Jumat 13 Januari 1928, masyarakat Amerika Serikat, terutama warga kota New York dicengangkan oleh tabloid Daily News. Hari itu, pada kulit muka tabloid ini terpampang tulisan besar dan pendek "Dead!" di atas sebuah gambar seorang wanita yang tengah menghadapi ajal di kursi listrik hukuman mati.
Berita tentang hukuman mati adalah hal yang biasa. Daily News menjadi istimewa bukan karena berita hukuman mati melainkan karena memuat foto sebuah pelaksanaan hukuman mati.
Sebelumnya tidak pernah ada media massa yang memuat foto eksekusi hukuman mati. Karena memang umumnya pelaksanaan hukuman mati tidak boleh difoto. Bagaimana foto eksekusi itu bisa sampai ke tangan Daily News?
Ada cerita menarik di balik pemuatan foto itu. Dan ini merupakan salah satu peristiwa sejarah foto jurnalistik yang perlu kita simak.
Daily News yang didirikan tahun 1919 semula bernama Ilustrated Daily News. Tabloid ini banyak diminati pembaca karena beritanya yang sensasional terutama yang menyangkut masalah kriminalitas dan seks. Bahkan pada tahun 1924 Daily News menjadi surat kabar paling luas peredarannya di Amerika Serikat. Seperti tabloid pada umumnya, Daily News sanantiasa menampilkan gambar yang hampir memenuhi halaman muka.
Pada akhir tahun 1927 New York dihangatkan berita tentang Ruth Snyder yang dituduh telah menghabisi nyawa suaminya sendiri. Motif cinta segi tiga menghadapkan Ruth Snyder ke pangadilan yang menjatuhkan vonis hukuman mati dengan kursi listrik. Eksekusi hukuman mati tersebut akan dilaksanakan di penjara Sing Sing, New York.
Redaksi Daily News memutuskan untuk memuat foto eksekusi hukuman mati itu. Tapi ternyata untuk mewujudkan rencana pemuatan foto eksekusi ini tidak mudah. Meskipun tidak ada peraturan yang melarang, tapi tradisi penjara dan petugas penjara tidak akan membiarkan orang mengabadikan eksekusi hukuman mati. Wartawan tulis mendapat undangan untuk meliput eksekusi, tapi wartawan foto tidak pernah bisa memasuki ruang eksekusi.
Berarti untuk bisa mendapatkan gambar eksekusi, sang wartawan harus menyelundupkan kamera ke penjara. Pemotretan eksekusi harus dilakukan tanpa sepengetahuan petugas penjara.
Maka disiapkanlah sebuah kamera rahasia. Kamera ini cukup kecil hingga bisa dikaitkan pada mata kaki pemotret. Untuk membuka rana digunakan seutas kabel release panjang yang menghubungkan kamera dengan saku.
Pemotretan tidak menggunakan film tapi dengan sekeping pelat kaca seukuran kotak korek api. Dituntut kepiawaian sang pemotret untuk bisa memotret satu kali dan berhasil. Karena demi kerahasiaan tidak ada kesempatan mengganti pelat kaca lagi.
Karena wajah wartawan foto Daily News sudah dikenal oleh polisi New York, tidak mungkin bisa memasuki ruang eksekusi. Maka didatangkan Tom Howard dari Chicago Tribune untuk mengemban tugas ini. Howard datang ke New York satu bulan sebelum pelaksanaan eksekusi.
Waktu satu bulan itu digunakan untuk belajar membidikkan kamera rahasia. Selain belajar mengoperasikan kamera Howard juga mempelajari blueprint ruang eksekusi yang diberikan editor Daily News kepadanya. Ini perlu untuk menentukan beberapa kemungkinan posisi berdiri Howard dalam melaksanakan pemotretan.
Selain itu juga diperlukan untuk memperkirakan jarak fokus yang harus digunakan untuk melaksanakan pemotretan. Jarak fokus kamera harus sudah ditentukan sebelum Howard berangkat ke penjara. Karena ia tidak mungkin melakukan pemfokusan di ruang eksekusi.
Pada malam pelaksanaan eksekusi dengan menyamar sebagai wartawan tulis, Howard berjalan santai menuju ruang kursi listrik di penjara Sing Sing. Tentu saja semua peralatan sudah ia persiapkan.
Pukul 23.06 ketika tubuh Ruth Snyder yang terikat di kursi eksekusi dialiri listrik 2.200 volt. Howard sedikit menarik ke atas celana sebelah kiri, dan dengan tangan yang tersimpan di dalam saku ia membuka rana untuk merekam peristiwa di hadapannya. Eksekusi usai, Howard pun segera ke kantor Daily News.
Ketika dicetak, gambar yang terekam tampak agak kabur. Ini disebabkan Howard membuka rana selama tiga kali dalam total waktu lebih kurang lima detik. Multi exposure ini dilakukan untuk merekam ekspresi Ruth Snyder setiap kali listrik tegangan tinggi menyengatnya.
Sebelum dijadikan gambar kulit muka, hasil bidikan Howard perlu di-croping. Karena pada gambar yang utuh tampak juga kaki-kaki para penonton lainnya. Ini terjadi karena Howard membidik objek dengan kakinya, tentu saja hanya berdasarkan kira-kira.
Setelah dilakukan croping maka terbitlah Daily News 13 Januari 1928 salah satu peristiwa sejarah foto jurnalistik.
Bahan bacaan:
1. Photojournalism, Life Library of Photography, 1976
2. Popular Photography, Maret 1976
3. Popular Photography, Januari 1961

Selasa, 17 Mei 2011

APA ITU ESAI FOTO?

FOTOMEDIA. No. 1. 1994. Arbain Rambey/Kartono Ryadi

Dalam dunia tulis menulis, esai adalah tulisan yang mengangkat suatu masalah tanpa harus memberikan penyelesaian pada suatu persoalan, namun opini penulis sangat menonjol dengan segala kandungan pikirannya, gaya bahasanya bahkan sering dilengkapi "kenakalan" ide.
Dalam jurnalistik foto, esai foto secara umum mempunyai sifat yang sama dengan esai tulisan yaitu mengandung opini dari suatu sudut pandang. Namun dalam prakteknya mempunyai kekhasan karena esai foto di samping terdiri dari tulisan, juga terdiri dari foto.
Pada hakekatnya esai foto merupakan gabungan dari foto berita dan foto features. Foto berita adalah foto yang dibuat tanpa bisa direncanakan sebelumnya, dan yang paling penting terikat aktualitas. Hakekat lain foto berita adalah pentingnya obyek terfoto, serta besar dan tragisnya sebuah kejadian. Sementara, foto features dapat direncanakan, dibuat dan dipublikasikan kapan saja tanpa terikat waktu. Foto features biasanya merupakan nukilan celah-celah kehidupan manusia yang terjadi setiap hari. Gabungan foto berita dan foto features inilah yang membuat sebuah esai foto menjadi "utuh" dan mempunyai "alur" yang sesuai dengan keinginan pembuatnya.
Mengapa esai foto harus memenuhi persyaratan gabungan dari dua jenis foto jurnalistik itu?
Gabungan beberapa foto yang ditampilkan sekaligus tidak selalu merupakan esai foto. Beberapa foto yang diabadikan dari satu sudut tentang kejadian yang berlangsung beberapa detik merupakan photo sequence. Sedangkan foto yang mengabadikan suatu kejadian dalam beberapa saat saja tanpa bumbu lain merupakan foto seri.
Dan karena sebuah esai foto terdiri dari beberapa foto, pemilihan gambar menjadi amat penting. Sang fotografer tidak saja harus mengambil foto, tapi juga harus membuat foto. Not only to take the picture, but to make the picture. Kedekatan fotografer dan obyek yang dipotretnya harus terjalin untuk menghasilkan foto yang baik.
Keterkaitan antar foto
Kualitas sebuah esai foto tidak ditentukan pada jumlah fotonya melainkan pada bagaimana keterkaitan sebuah foto dengan foto yang lain. Yang ikut menentukan pula adalah kroping, tata letak dan ukuran fotonya. Ada foto yang harus dicetak besar, namun ada pula foto yang cuma perlu dicetak kecil tanpa kehilangan "peran"nya.
Sebagai contoh, misalnya akan dibuat esai foto tentang seorang mantan WTS di Jatim yang mengidap virus HIV dan melahirkan bayinya pertengahan Mei lalu. Lepas dari etika, dan apakah foto itu akan dipublikasikan atau tidak, sang fotografer harus menjalin kedekatan dengan sang mantan WTS itu.
Ia harus bertemu secara teratur untuk membuat foto. Bahkan karena konon untuk mengetahui apakah bayi yang dilahirkan itu juga mengidap HIV diperlukan waktu 7 bulan, bisa jadi pula sang fotografer baru bisa menyelesaikan esainya dalam waktu setahun.
Salah satu contoh esai foto yang dibuat dalam waktu cukup lama dan bahkan sampai fotografernya pada proses pembuatannya sempat menjadi korban pemukulan, adalah esai foto tentang tragedi pencemaran lingkungan di Minamata, Jepang.
Pada tahun 1971, Eugene Smith yang berkerja untuk majalah berita bergambar Life, mendengar bahwa pencemaran air raksa di pantai Minamata telah membuat cacat banyak bayi yang lahir di daerah itu. Lalu Smith membuka banyak buku yang membahas tentang efek air raksa pada manusia, dan mempelajarinya.
Dengan bekal pengetahuan yang didapatnya dari buku-buku. Smith lalu merancang "skenario" foto-foto bagaimana yang akan dibuatnya di Minamata agar masalah pencemaran air raksa itu tergambar jelas.
Dari buku pula Eugene Smith tahu bahwa pencemaran air raksa akan membuat anak yang terkena pencemaran itu sejak bayi akan menjadi terbelakang mental berat dengan mimik muka khas. Dengan bekal pengetahuan dari buku ini, Eugene Smith lalu khusus mencari dan akhirnya berhasil mendapatkan foto seorang anak korban pencemaran dari keluarga Uemura yang sedang dimandikan ibunya. Foto ini adalah sebuah foto dari esai fotonya yang menjadi terkenal sekali. Dunia terguncang karena foto itu, dan pabrik penyebab pencemaran, yaitu Chisso, lalu ditutup.
"Saya tidak asal memotret begitu sampai di Minamata. Membuat esai foto adalah membuat beberapa foto dari suatu perencanaan yang ketat." kata Smith dalam wawancara di buku Photojurnalism, The Professionals Approach karangan Kenneth Kobre.
Dari kata-kata Eugene Smith ini jelas bahwa membuat esai foto bukan memotret sebanyak mungkin untuk lalu dipilih setelah dicetak. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa esai foto telah jadi saat direncanakan. Pemotretan yang berlangsung adalah final touch saja walau tidak jarang sedikit merubah skenario yang telah disusun akibat pengalaman lapangan yang didapat kemudian.
Masalah bisa sederhana
Jadi, membuat esai foto memang tidak terlalu sederhana. Selain harus dilengkapi bahan riset, minimal dalam benak sang fotografer telah ada konsep bagaimana jadinya esai foto itu nantinya. Namun yang harus ditekankan pula, esai foto tidak harus berangkat dari masalah yang sangat besar.
Hadiah Pulitzer tahun 1980 jatuh pada esai foto karya Skeeter Hagler dari Dallas Times Herald yang "cuma" menceriterakan kehidupan penggembala sapi di AS.
Namun, Hagler mampu menceriterakan kehidupan "cowboy modern" dengan jelas dan menarik. Terlihat bagaimana penggembala sapi di era 80-an bukanlah seperti dalam film-film western yang selalu menenteng pistol. Bahkan beberapa penggembala melengkapi dirinya dengan helikopter segala. Hal-hal mendasar seperti bagaimana para penggembala itu merokok atau memasak tidaklah dilupakannya.
Sejak 1925
Sejarah esai foto berawal pada tahun 1925 ketika Gardner Cowles dan saudaranya John Cowles melakukan survai tentang minat pembaca surat kabar di AS. Waktu itu Cowles bersaudara melakukan survai berdasarkan penelitian George Gallup yang baru saja lulus dari jurusan Psikologi Universitas Iowa.
Gallup yang juga pengajar di Sekolah Jurnalistik Universitas Iowa, mengatakan bahwa gambar lebih menarik minat pembaca surat kabar daripada tulisan. Dan Cowles bersaudara lalu membuat sebuah sajian yang merupakan gabungan beberapa foto dan tulisan di koran The Sunday Register.
Sajian di The Sunday Register itu dalam waktu singkat mendapat perhatian luas di AS. Redaktur koran lain melihat kepopuleran "narasi fotografi" (Photographic Narration) yang dibuat Cowles bersaudara dengan berbagai perasaan. Ada yang skeptis, namun banyak pula yang kagum pada "gaya baru" dalam berita itu.
Yang pasti, oplah The Sunday Register terbukti melonjak sampai 50 persen semenjak mereka menampilkan esai foto pertama itu. Dan kesuksesan ini membuat Cowles bersaudara berpikir lebih jauh. Kalau cuma sebagai artikel dalam surat kabar saja bisa sukses, bagaimana kalau esai foto itu dibuat sebagai sebuah majalah utuh?
Mulai tahun 1933, Cowles bersaudara mulai memikirkan bentuk dan tata letak majalah yang menitikberatkan penyajiannya dalam bentuk esai foto. Beberapa tenaga lay out yang mengerjakan tata letak The Sunday Register dimintai bantuannya untuk ikut merencanakan majalah "gaya baru" itu. Beberapa tahun berkutat dengan dummy, pada bulan Januari 1937, lahirlah majalah Look.
Namun majalah Look sebenarnya "kebobolan". Mereka yang punya ide, justru majalah lain telah lebih dahulu terbit. Pada bulan November 1936, majalah Life yang juga berorientasi pada berita gambar telah lebih dahulu terbit.
Namun kedua majalah lalu sama-sama menyedot peminat dalam jumlah besar. Bahkan dalam waktu sampai setengah abad kemudian kedua majalah ini mendominasi pasaran dunia. Life lalu mempunyai duplikat dari benua lain, yaitu Paris Match dan Manchette yang terbit di Perancis.
Salah satu edisi Life yang populer adalah saat majalah itu menurunkan laporan bergambar tentang terbunuhnya Martin Luther King pada tahun 1968. Edisi ini bisa dikatakan terjual di seluruh dunia. (Arbain Rambey/Kartono Ryadi, dari berbagai bahan)

Senin, 16 Mei 2011

Wartawan Foto yang Tewas dalam Tugas, Potret Dedikasi dan pengorbanan demi sebuah Profesi

FOTOMEDIA. No 1, 1994. AR Budidarma

Sejarah umat manusia telah mencatat dengan tinta emas, adanya sejumlah wartawan foto yang telah mengorbankan nyawanya dalam tugas. Mereka adalah orang-orang yang dengan penuh dedikasi, berani menghadapi bahaya maut di medan-medan pertempuran, tempat dimana manusia saling membunuh dan memusnahkan.
Dokumentasi sejarah umat manusia tak akan lengkap tanpa pengorbanan para fotojurnalis. Karya-karya mereka, selain menjadi saksi sejarah, juga mampu membentuk opini masyarakat. Bahkan, juga mempengaruhi kebijakan para pengambil keputusan di sejumlah negara, yang menentukan nasib ribuan rakyatnya.
Dunia fotojurnalisme, tak akan pernah melupakan karya monumental Robert Capa, yang pada tahun 1936 berhasil membuat foto dramatis seorang serdadu yang sedang roboh tertembak oleh peluru di Spanyol.
Robert Capa seolah tak pernah menghiraukan, desingan peluru yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. Ia terus memburu foto-foto eksklusif tentang kekejaman perang yang merobek-robek kehidupan manusia. Sampai akhirnya, ia tewas di medan perang, ketika meliput peperangan di Vietnam pada tahun 1954.
Saudara kandung Robert Capa, Cornell Capa, juga seorang fotojurnalis piawai dari majalah Life, majalah yang mempelopori fotojurnalisme, kini meneruskan semangat serta mengabadikan karya-karya fotojurnalis dunia, dalam sebuah wadah bernama International Center of Photography (ICP), yang didirikan di New York pada tahun 1974.
Dedikasi dan keberanian Robert Capa, mengilhami serta menjadi teladan bagi puluhan bahkan ratusan fotojurnalis dari seluruh pelosok dunia. Mereka tak segan-segan mempertaruhkan nyawa mereka untuk membuat foto-foto dokumentasi perang, yang mencabik-cabik kehidupan manusia.
Tahun 1968, para fotojurnalis di seluruh dunia, meratapi tewasnya tiga orang wartawan foto lagi di Vietnam. Mereka adalah Hiromichi Mine, wartawan foto UPI dan Robert Ellison, fotografer free lance yang terbunuh pada tanggal 5 Maret 1968. Lalu menyusul Charles Eggleston, wartawan foto UPI yang juga terbunuh pada tanggal 6 Mei 1968.
Dunia fotojurnalisme kembali kehilangan tiga orang wartawan foto di medan pertempuran pada tahun 1970. Dua orang wartawan foto UPI, masing-masing Sean Flynn dan Dana Stone, tertawan di Kamboja pada tanggal 6 April 1970, dan tak pernah diketahui nasibnya. Menyusul kemudian, Kyoichi Sawada, juga wartawan foto UPI yang tewas dalam pertempuran di Kamboja, 28 Oktober 1970.
Tanggal 10 Februari 1971, juga merupakan hari kelabu bagi dunia fotojurnalis. Hari itu, empat orang wartawan foto hilang dalam medan pertempuran di Laos, dan diduga tewas. Mereka adalah Larry Burroows dari majalah Life, Keisaburo Shimamoto dari majalah Newsweek, Ken Porter dari kantor berita UPI dan Henri Huet, fotojurnalis dari kantor berita AP.
Perang di Indocina, merupakan kancah peperangan yang paling banyak menelan korban wartawan foto. Pada tahun 1972, tiga orang wartawan foto menemui ajalnya di kawasan ini. Mereka adalah Alan Hirons dan Terry Reynolds dari kantor berita UPI yang tewas di Kamboja pada tanggal 26 April 1972, disusul Alexander Shimkin, fotojurnalis majalah Newsweek yang tewas pada tanggal 12 Juli di Vietnam.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 28 April 1975, medan pertempuran di Vietnam kembali meminta korban nyawa seorang fotojurnalis, yakni Michael Laurent, jurufoto kantor berita Gamma yang mendapat penugasan dari majalah Newsweek.
Sesudah itu, daftar fotojurnalis yang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang, masih terus bertambah panjang, seiring makin benyaknya perang di berbagai pelosok dunia.
Perang Teluk, pertempuran di Somalia, kerusuhan IRA di bagian utara Inggris, medan pertempuran di Sarajevo, Bosnia, Serbia dan sejumlah peperangan lainnya di Afrika, menambah panjang daftar nama para fotojurnalis yang telah mengorbankan nyawa mereka.
Yang belum lama terjadi, kantor berita AFP dan Reuters menyiarkan foto Ken Oosterbroek, fotojurnalis suratkabar Johannesburg Star di Afrika Selatan yang tewas tertembak, saat meliput bentrokan berdarah ANC vs Inkatha, Senin 18 April 1994.
Di samping tubuh Ken yang sedang digotong rekan-rekannya, tampak pula Greg Marinovich, fotojurnalis majalah Newsweek yang luka parah terkena tembakan di dadanya, saat meliput pertumpahan darah menjelang pemilu di Afsel tersebut.
Ini cuma sekelumit potret dari sejumlah fotojurnalis yang telah mengorbankan milik mereka yang paling berharga, yaitu nyawa mereka sendiri, karena dedikasi mereka terhadap panggilan profesi yang sangat mereka junjung tinggi. (AR Budidarma)

Senin, 09 Mei 2011

Terungkap setelah 26 Tahun

INDO POS, afp/rtr/hep
Akhir 2006 foto regu tembak mengeksekusi sekelompok orang di Sanadaj, Iran, pada 28 Agustus 1979, ini dinobatkan sebagai pemenang Pulitzer 1980 secara resmi diperkenalkan, setelah 26 tahun tak terungkap fotografernya.

NEW YORK, Sekitar 26 tahun lalu, Komite Pulitzer menganugerahkan penghargaan Spot News Photography kepada fotografer anonim. Identitas fotografer yang mengabadikan foto regu tembak mengeksekusi 11 tahanan itu akhirnya terkuak. Orang di balik karya jurnalisme yang sangat menyentuh itu adalah Jahangir Ramzi, fotografer asal Iran.
"Saat menganugerahkan penghargaan anonim tersebut, kami berharap suatu hari nanti nama sang fotografer akan muncul. Karena itu, kami sangat bahagia harapan itu bisa terwujud setelah menunggu 26 tahun. Pada akhirnya, kami bisa dengan bangga menganugerahkan Hadiah Pulitzer kepada seseorang yang karyanya sudah menjadi ikon," kata Sig Gissler, salah satu pejabat Komite Pulitzer.
Identitas Ramzi kali pertama diungkap Wall Street Journal. Atas izin Ramzi, media Amerika Serikat (AS) itu memublikasikan kiprahnya pada 2 Desember lalu. Komite Pulitzer langsung meneliti berita yang ditulis Wall Street Journal tersebut dan bukti foto yang ada. Hasilnya, Komite Pulitzer yakin Ramzi memang fotografer yang mereka cari selama ini.
Saat dimuat surat kabar Iran pada Agustus 1979, nama Ramzi tidak dicantumkan dalam kredit foto. Atas alasan keamanan, redaktur surat kabar tersebut memutuskan merahasiakan identitas Ramzi.
Atas karyanya, Ramzi berhak mendapatkan Pulitzer Prize dan uang tunai sebesar U$D 10.000. Seharusnya hadiah itu diterimanya pada tahun 1980 lalu saat karyanya dinyatakan sebagai pemenang kategori Spot News Photography. Menurut rencana, Ramzi dan para pemenang lain Pulitzer akan menerima penghargaan jurnalisme tahunan itu pada tahun 2007. (afp/rtr/hep)

Senin, 02 Mei 2011

Melihat Keaslian Foto Digital

KOMPAS, Valens Riyadi, Direktur CV Citraweb Nusa Infomedia, Tinggal di Yogyakarta
E-mail: valens@citra.web.id

Beberapa tahun terakhir ini sering kali muncul kasus peredaran foto tidak senonoh. Mulai dari foto almarhumah Sukma Ayu-Bjah, Syaharani, hingga foto topless Putri Indonesia Artika Sari Dewi. Pertanyaan yang selalu mengiringi kasus tersebut adalah apakah foto tersebut asli atau tidak.
Yang patut dikaji lebih mendalam adalah kriteria foto yang bisa disebut asli. Kesimpulan bisa berujung pada beberapa kondisi, foto tersebut asli dan obyek pelakunya sesuai dengan yang disebut, foto tersebut asli namun obyek hanyalah orang yang mirip dengan orang yang disebut, dan yang terakhir adalah foto tersebut merupakan hasil rekayasa digital.
Dalam berbagai kasus di atas, parameter teknis yang sering disebut adalah EXIF (Exchangeable Image File Format). Format EXIF adalah kumpulan informasi teknis yang dilekatkan pada header file gambar, yang standarnya dikembangkan oleh Japanese Electronics Industry Development Association (JEIDA) sebagai usaha untuk mempermudah dan membuat standar dalam pertukaran data antara perangkat lunak pengolah citra dan perangkat keras seperti kamera. Format EXIF yang dihasilkan oleh kamera tidaklah seragam, tetapi pada umumnya EXIF memiliki data tanggal pengambilan gambar, digital ISO, kecepatan rana, diafragma, dan jenis kamera.
Foto-foto hasil kamera digital dapat dilihat data EXIF-nya dengan menggunakan perangkat lunak khusus seperti EXIFER atau perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop atau ACDSee. Sistem operasi Windows maupun Linux juga menyediakan file browser yang dapat melihat EXIF.
Dulu, saat kita belajar memotret menggunakan film, setiap kali menekan tombol rana kita harus membuat catatan data teknis yang kita gunakan untuk keperluan evaluasi. Pada kamera digital, hal tersebut tidak perlu lagi karena EXIF membantu kita untuk melakukan pencatatan tersebut.
Dalam penggunaan EXIF melacak keaslian foto, pertama-tama harus dilakukan adalah pengecekan format EXIF itu sendiri. Tiap kamera memiliki format EXIF yang tidak persis sama. Format EXIF pada foto yang diselidiki harus dibandingkan dengan EXIF dari foto lain yang difoto menggunakan kamera yang sejenis. Jumlah data dan formatnya harus sama strukturnya.
Jika sama, tidak berarti bahwa kita sudah dapat memastikan bahwa foto tersebut asli. Data EXIF itu harus diuji apakah sesuai dengan tampak visual foto tersebut. Misalnya jika data di EXIF bertuliskan menggunakan lensa tele, tetapi pada foto terlihat lebar seperti menggunakan lensa wide. Tentu saja bisa dipastikan bahwa data EXIF yang ada pada foto tersebut sudah dimanipulasi.
Tanggal pengambilan foto pun bisa dibandingkan jika foto tersebut memuat gambar yang terukur waktunya, misalnya foto kampanye calon presiden di daerah tertentu. Tanggal dan jam yang tertulis di EXIF bisa dibandingkan apakah sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Hubungan antara ISO digital dan kehalusan butiran gambar juga bisa dilihat kewajarannya. Makin tinggi ISO, butir-butir foto akan tampak semakin jelas dan kehalusan fotonya berkurang.
Meskipun banyak menyimpan informasi teknis yang sangat berharga untuk mengira keaslian sebuah foto, EXIF sendiri tidak bisa dijadikan parameter utama. Menggunakan perangkat lunak tertentu, seperti Power EXIF (http://www.opanda.com/en/pe), data EXIF bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Hal ini membuat kita tidak dapat hanya bergantung pada data EXIF saja.
Proses penentuan keaslian sebuah foto tidak bisa berhenti sampai analisis data EXIF saja. Masih ada beberapa unsur lainnya yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dapat dianalisis selain EXIF, terutama dari sisi fotografi. Misalnya, perbandingan besar obyek dan distorsi obyek utama dan latar belakangnya. Latar belakang foto sering kali juga bisa banyak bercerita mengenai lokasi pengambilan foto, hal ini bisa dibandingkan dengan alibi keberadaan obyek foto. Pada proses pengujian ini tentu saja dibutuhkan penelitian yang bersifat non-digital, seperti mencocokkan lokasi dengan tampak visual sebuah foto.
Besaran ukuran file dengan perkembangan teknologi kamera digital juga patut dipertimbangkan. Misalnya sebuah foto kejadiannya pada 5 tahun yang lalu diakui dipotret dengan kamera digital dan disebut ukuran file-nya 20 megapiksel. Tentu saja tidak mungkin karena kamera digital ukuran tersebut baru beredar beberapa tahun belakangan ini.
Warna pada setiap elemen foto juga perlu diuji apakah terasa wajar atau tidak. Jika terdapat sumber cahaya dominan pada sebuah foto, arah jatuh bayangan juga bisa diteliti apakah wajar atau terdapat penyimpangan. Jika pemotretan dilakukan di studio dan menggunakan lampu studio, pada titik mata obyek biasanya juga dapat dilihat posisi dan jenis lampu yang digunakan.
Masih banyak parameter teknis lainnya yang bisa diuji. Parameter ini sangat erat kaitannya dengan teknis fotografi sehingga orang awam yang tidak mengerti fotografi sulit untuk menganalisis foto dengan berbagai parameter teknis tersebut, meskipun orang tersebut bisa dianggap pakar dalam bidang teknologi informasi.
Dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop, dapat juga diuji keaslian sebuah foto. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemisahan warna pada setiap lapisan warna. File JPG dengan format RGB, baik 8 maupun 16 bit, terdiri dari tiga lapisan warna, yaitu merah, hijau dan biru. Tiap lapisan warna dilakukan pengubahan level secara drastis. Jika foto merupakan hasil montase (penggabungan) digital, biasanya ada beberapa bagian yang perubahan citranya tidak sama.
Kalaupun pada semua pengujian teknis ini tidak didapatkan tanda-tanda yang tidak wajar, tidaklah berarti suatu foto bisa disebut asli. Kasus foto Artika Sari Dewi bisa dijadikan contoh menarik. Ketua Yayasan Putri Indonesia Wardiman Djojonegoro menuding bahwa foto yang beredar itu adalah rekayasa komputer. Belakangan diketahui bahwa foto yang beredar tersebut adalah asli, hanya, itu bukan foto Artika. Namun, foto dari Miss Tiffany's Universe 2005, yaitu sebuah kontes waria yang berlangsung pada 7 mei lalu di Thailand. Jadi, kalaupun secara teknis sebuah foto bisa disebut asli, masih harus diuji lagi, apakah obyek foto betul-betul adalah orang yang diberitakan.
Cukup banyak detail teknis yang bisa diteliti untuk mengetahui keaslian suatu foto, dan bukan melulu masalah data EXIF. Pada akhir proses pengujian, yang bisa ditentukan ialah apakah sebuah foto adalah wajar atau ditemukan tanda-tanda adanya menipulasi. Sulit untuk menyatakan dengan tegas, apakah suatu foto benar-benar asli.
Valens Riyadi, Direktur CV Citraweb Nusa Infomedia, Tinggal di Yogyakarta
E-mail: valens@citra.web.id

Sabtu, 05 Maret 2011

Ansel Adams, Mengangkat Fotografi ke Jenjang Tertinggi

KOMPAS, ARBAIN RAMBEY

Berapa harga selembar foto? Kalau Anda ke Pasar Baru, Jakarta, harga selembar foto bintang F4 (F she) ukuran kartu pos adalah Rp. 5.000. Ini mahal sekali sebab, selain itu semata foto repro alias bajakan, ongkos cetak selembar kartu pos berwarna sebenarnya hanya Rp. 1.000.. Namun, bagaimana kalau ada foto yang harganya selembar sekitar Rp. 300 juta?
Demikianlah foto berjudul Tetons and Snake River, Grand Teton National Park buatan tahun 1942 karya Ansel Adams (20 Februari 1902-22 April 1984) dari Amerika Serikat, cetakan asli, memang berharga segitu. Karya lain Ansel Adams yang berjudul Moonrise, Hernandez 1941 juga berharga sama. Foto-foto Adams yang masuk kategori murah pun harganya masih sekitar 10.000 dollar Amerika Serikat alias sekitar Rp. 80 juta, seperti Dunes, Oceano, CA, 1963.
Saat ini, di beberapa tempat di AS sedang berlangsung pameran foto peringatan 100 tahun Ansel Adams. Beberapa kantor berita pun mengirim foto-foto Ansel Adams ke koran-koran yang berlangganan kepadanya.
Mengapa foto-foto Ansel Adams dalam bentuk cetakan asli berharga begitu mahal?
Siapa pun yang pernah melihat foto asli karya Ansel Adams, yang umumnya foto pemandangan alam hitam putih, akan sepakat bahwa foto-foto itu sangat luar biasa. Selain alam yang disajikan sangatlah indah, detail dalam foto itu termasuk kontras dan pencahayaannya tidak ada cacatnya. Bisa dikatakan, karya Ansel Adams adalah pencapaian tertinggi dalam seni fotografi.
Ada beberapa orang yang mengatakan, foto-foto Ansel Adams tampak bagus karena alam yang dipotretnya memang sudah bagus. Akan tetapi, sesungguhnya tidaklah demikian. Banyak fotografer mencoba memotret alam yang sama dengan yang dipotret Ansel Adams, dengan sudut yang sama dan pencahayaan yang dirancang semirip mungkin. Hasilnya, umumnya jauh di bawah karya Adams.
Fotografi Ansel Adams adalah karya yang dihasilkan melalui pemikiran yang dalam, pengalaman di laboratorium foto bertahun-tahun, serta kesabaran dan keuletan di lapangan. Sehari ia bekerja 18 jam. Dan, kerja keras ini dijalaninya bertahun-tahun. Adams sama sekali tidak kenal hari libur. Untuk mencapai tempat pemotretan, Ansel Adams sering harus berjalan berjam-jam, bahkan berhari-hari, dengan membawa peralatan sangat berat. Kamera yang digunakan Ansel Adams hampir selalu kamera format besar.
Dari pengalaman lapangannya itu, Adams sudah menelurkan sebuah teori fotografi hitam putih yang sangat terkenal, yaitu Sistem Zona. Dengan sistem ini, tiap nada di alam punya korelasi dengan sebuah kepekatan dalam foto hitam putih. Maka, pada setiap foto Ansel Adams, kita bisa melihat warna putih dan hitam tampil menawan sejajar dengan aneka gradasi abu-abu pada lembar yang sama.
Adams tidak pernah membutuhkan koreksi pencetakan pada semua fotonya. Sekali lagi, semua fotonya. Mencetak foto Ansel Adams adalah mencetak dengan durasi persis sama pada semua foto karena presisi pencahayaan yang dibuat Adams memang setinggi itu. Juga, posisi enlarger (alat cetak foto) selalu tetap, tergantung ukuran kertas yang dipakai saja. Negatif yang dihasilkan Adams adalah hasil final.
Namun kritik terbesar bagi Adams adalah betapa miskinnya obyek foto yang dipilihnya. Fotografer kondang Henri Cartier-Bresson pernah berkata, "Dunia ini sangat beraneka ragam. Tapi yang dipotret (Ansel) Adams dan (Edward) Weston hanyalah karang dan pohon."
Ansel Adams lahir dan dibesarkan di San Fransisco. Ayahnya, Charles Hitchcock Adams, adalah seorang pengusaha. Ibunya, Olive Bray, hanya ibu rumah tangga biasa. Sebagai anak tunggal dari orangtua yang terlambat menikah (Ansel lahir saat ibunya hampir berumur 40 tahun), Ansel Adams cukup mendapat perhatian. Sejak kecil ia sudah menampakkan kecerdasan lebih, juga sangat aktif. Dalam sebuah biografi, keaktifan fisik Ansel Adams akan dikategorikan sebagai hiperaktif untuk definisi saat ini. Selain itu, Ansel juga mengidap disleksia (gangguan kesulitan membaca). Akibatnya, Ansel mengalami kesulitan dalam sekolahnya. Akhirnya pendidikan formal Ansel cuma sampai tingkat delapan di AS, atau kira-kira setara SLTP.
Pada tahun 1907, keluarga Adams bangkrut. Dan sejak itu, kesulitan ekonomi memang melanda keluarga ini. Satu-satunya kegembiraan Ansel kecil adalah menikmati alam, dekat jembatan The Golden Gate. Hampir setiap hari ia terlihat bermain-main di sana seusai les piano yang dijalaninya.
Sejak usia belasan, Adams sudah senang memotret dengan kamera Kodak No1 Box Brownie yang diberikan ayahnya. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan sebuah klub pencinta alam, Sierre Club. Di klub ini pula ia berjumpa dengan istrinya, Virginia Best, yang dinikahinya tahun 1928, yang lalu memberinya dua anak. Walau aktif di kegiatan pencinta alam sambil senang memotret, cita-cita Adams sampai saat ini adalah menjadi pemusik.
Maka, sesungguhnya tahun yang sangat menentukan karier Adams adalah tahun 1927. Pada tahun itu, ia menghasilkan serial foto "Monolith, the Face of Half Dome" di Taman Nasional Yosemite. Pada tahun itu pula, ia mengaku bisa lepas dari bayang-bayang pengaruh Albert M Bender, seorang tokoh seni San Fransisco, sekaligus meninggalkan keinginan untuk menjadi pemusik.
Titik besar lainnya adalah saat ia berjumpa fotografer Paul Strand pada tahun 1930, juga Alfred Stieglietz. Sejak saat itu Adams bertekad menciptakan straight photography, atau foto yang tanpa manipulasi apa pun, tidak ada dodging dan burning pada prosesnya.
Pada tahun 1927, Adams berjumpa dengan Edward Weston, dan keduanya lalu mendirikan Grup f/64 pada tahun 1932. Grup ini adalah kelompok fotografer yang memotret hanya dengan bukaan diafragma 64 (kecil sekali) untuk mendapatkan ketajaman gambar maksimal. Walau grup ini berjalan dengan setengah main-main, kelompok inilah mendobrak prestise fotografi seni menjadi seperti sekarang.
Walau foto-fotonya berharga sangat mahal, sampai tahun 1940-an Adams bukanlah fotografer yang kaya. Ia masih sering kesulitan uang, seperti terlihat dalam sebaris suratnya kepada weston, "Banyak sekali, ya, kerjaanku. Tapi, tetap saja aku miskin."
Banyak pula buku yang sudah dihasilkannya. Buku otobiografinya tidak selesai dikerjakan karena ia keburu meninggal pada tahun 1984. Namun, bukunya diselesaikan Mary Street Alinder dan terbit tahun 1985.
Buku lainnya adalah The John Muir Trail (1938). Michael and Anne in Yosemite Valley (1941), Born Free and Equal (1944), Illustrated Guide to Yosemite Valley (1946), The Negative (1948), Yosemite and the High Sierra (1948), The Print (1950), My Camera in Yosemite Valley (1950), My Camera in the National Parks (1950), The Land of Little Rain (1950), Natural Light Photography (1952), Death Valley (1954), The Pageant of History in Northhern California (1954) dan Artificial Light Photography (1956).
Selain itu juga The Islands of Hawaii (1958), Yosemite Valley (1959), Death Valley and the Creek Called Furnace (1962), These We Inherit: The Parklands of America (1962), Polaroid Land Photography Manual (1963), An Introduction to Hawaii (1964), Fiat Lux: The University of California (1967), The Tetons and the Yellowstone (1970), Ansel Adams (1972), Singular Images (1974) Ansel Adams: Images 1923-1974 (1974), Photographs of the Southwest (1976), The Portfolios of Ansel Adams (1977), Polaroid Land Photography (1978), Yosemite and the Range of Light (1979), The Camera (1980), The Negative (1981) dan The Print (1983). (ARB)

Jumat, 04 Maret 2011

Hadiah Fotografi Pulitzer, Selera Amerika Diakui Dunia

KOMPAS, ARBAIN RAMBEY

Menghargai sebuah benda yang tidak terukur amatlah sulit. Dan benda itu adalah foto jurnalistik. Apa tolok ukur yang harus kita pakai untuk menilainya?
Amerika Serikat (AS), negara yang sanngat menggembar-gemborkan kebebasan dan demokrasi, punya cara tersendiri. Mereka menggabungkan akademisi dan prektisi jurnalistik untuk menilai. Dan muncullah penghargaan Pulitzer untuk fotografi jurnalistik sejak 1942 menyambung penghargaan-penghargaan Pulitzer lain yang sudah diberikan sejak tahun 1917.
Foto jurnalistik adalah berita juga. Dan berita sering jadi alat politik. Masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana embedded journalist yang menempel pada pasukan AS yang menyerang Irak beberapa waktu yang lalu membuat berita dan mengirim foto sesuai keinginan Pemerintah AS semata. Barang kali "tuduhan" serupa akan menempel pula pada foto-foto pemenang Pulitzer.
Tapi, mengamati kumpulan foto pemenang hadiah Pulitzer dalam buku Moment, The Pulitzer Prize-Winning Photographs A Visual Chronicle of Our Time, kita akan berpikir lain. Kenyataannya, foto-foto pemenang Pulitzer terasa berpihak pada "sesuatu yang benar". Secara sekilas pun, foto-foto Pulitzer sulit untuk dituduh menjadi corong AS karena foto-foto terpilih hanyalah foto yang diterbitkan koran lokal AS saja.
Ada beberapa foto pemenang Pulitzer yang justru membuat marah orang AS terhadap pemerintahnya sendiri, misalnya foto karya Paul Watson pemenang penghargaan tahun 1994 untuk kategori berita. Foto ini cukup seram karena menampilkan mayat seorang marinir AS yang diseret-seret warga Mogadishu menyusul kegagalan pasukan AS menyelesaikan konflik internal di Somalia tahun 1993.
Peristiwa ini secara sekilas bisa disaksikan dalam film berjudul Black Hawk Down yang beberapa waktu lalu diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Saat foto Watson ini muncul di koran The Toronto Star, dan juga beberapa koran di AS, banyak orang menuduh foto ini tidak etis dan sadis. Beberapa pelanggan The Toronto Star langsung menyatakan berhenti berlangganan.
Di satu sisi, foto ini memang menimbulkan kemarahan dan kejijikan pada realitas perang. Namun di sisi lain, foto ini menampar Pemerintah AS. Karya Watson ini mengingatkan AS agar tidak usah  ikut campur pada urusan intern negeri lain. Beberapa waktu kemudian, AS menarik seluruh pasukannya dari Somalia.
Pada tahun1970-an, foto pemenang Pulitzer karya Eddie Adams pun membuat masyarakat AS menuntut pemerintahnya agar segera keluar dari Vietnam.
Walau begitu, ada pula foto-foto pemenang Pulitzer yang sekilas tampak "usil" pada tokoh atau kepentingan negara lain. Cobalah tengok foto pemenang Pulitzer kategori berita tahun 1980. Dengan menyembunyikan nama pemotretnya untuk alasan keamanan, foto itu menampilkan adegan eksekusi di sebuah tempat di Iran. Saat itu tahun 1979, Pemerintah Iran di bawah Ayatullah Khomeini mengalami pemberontakan etnis Kurdi. Maka, di beberapa tempat berlangsung pengadilan-pengadilan singkat terhadap pemberontak Kurdi yang tertangkap. Dan pengadilan ini selalu memutuskan hukuman mati.
Panitia Pulitzer tidak menyebutkan nama sang fotografer karena menurut panitia, "Agar sang fotografer tidak mengalami nasib sama dengan adegan fotonya."
Keusilan lain yang khas Amerika adalah foto pemenang kategori feature tahun 1997 karya Alexander Zemlianichenko. Presiden Rusia Boris Yeltsin yang sedang berkampanya untuk pemilihan umum tampak berdansa dengan sebuah band jazz. Di satu sisi, Amerika seperti mengejek Rusia, namun di sisi lain foto ini menguak sisi manusiawi seorang presiden Rusia yang selama ini dianggap sangat "angker".
Selain itu, foto yang juga mengungkap campur tangan AS di negara lain bisa dilihat pada foto karya Carol Guzy pemenang kategori berita tahun 1995. Foto ini menampilkan dua orang serdadu AS yang melindungi seorang yang akan dirajam massa. Konflik internal di Haiti juga membuat Pemerintah AS merasa perlu untuk ikut campur.
Pulitzer juga punya banyak foto yang mewakili hati nurani. Tengoklah foto karya tim Associated Press yang merekam perang saudara dan pengungsian besar-besaran di Rwanda. Serial foto pemenang kategori feature tahun 1995 ini menunjukkan bahwa pada beberapa tempat dan waktu di dunia ini, nyawa manusia tidak ada harganya sama sekali.
Namun, kasus paling terkenal dalam sejarah Pulitzer adalah kasus bunuh dirinya seorang pemenang. Jadi, Kevin Carter yang memenangkan kategori berita tahun 1994 justru merasa bersalah karena ia menang di atas derita orang lain.
Pada awal tahun 1993, Carter mendapat tugas meliput kasus kelaparan di Sudan. Sebuah foto dari liputannya itulah yang kemudian mendapat hadiah Pulitzer pada tahun 1994.
Fotonya yang memenangkan hadiah itu adalah gambar seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan menuju posko pembagian makanan. Di dekat anak itu, seekor burung pemakan bangkai menunggu seakan yakin bahwa anak kecil itu sebentar lagi menjadi santapannya.
Saat menerima hadiah Pulitzer di New York tanggal 23 Mei 1994 di New York, tida ada yang menyangka bahwa Carter telah menyimpan kepedihan tersendiri. Kepada beberapa temannya, Carter mengatakan bahwa ia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu. Ia kuatir kalau anak itu betul-betul dimakan burung pemakan bangkai.
Jadi, saat menerima hadiah Pulitzer itu sebenarnya Carter telah mengalami penderitaan batin yang dalam. Dua bulan kemudian, ia ditemukan mati bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam sebuah suratnya yang ditinggalkannya, Carter menegaskan bahwa ia mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya dibandingkan tugas kemanusiaan.
Kasus Carter di atas bisa dikatakan sebagai kasus ekstrem untuk pekerjaan seorang jurnalis foto.
Akhirnya, Hadiah Pulitzer bisa dikatakan sangat berbau Amerika. Namun, eksekusinya memang sangat didasari hati nurani oleh jurnalis yang telah punya pengalaman banyak.
Pendek kata, Hadiah Pulitzer memang bergaya Amerika. Tapi dia telah mewakili dunia. (ARBAIN RAMBEY)

Henri Cartier-Bresson, Saksi Mata Peristiwa Dunia

KOMPAS, JULIUS POUR

Kehidupan merupakan rangkaian momen detik demi detik. Ini semua membentuk perjalanan waktu teramat panjang. Salah satu detik dari rangkaian tersebut, decisive moment, merupakan momen paling bermakna untuk bisa diabadikan menjadi sebuah foto, lukisan, atau gambar. Atas dasar inilah maka "... hal-hal terkecil sekalipun selalu dapat menjadi tema besar dan kisah tentang manusia secara mendetail yang bisa ditampilkan sebagai ciri khas kehidupan," kata Henri Cartier-Bresson dalam bukunya, Images ala Sauvette.
Maka, inilah yang sepanjang hidup dikejar Bresson ke segenap pelosok dunia. Mulai dari jalan-jalan di Paris yang menggairahkan sampai ke padang belukar Afrika, sejak bordil mesum di Meksiko hingga kemegahan Candi Borobudur. Berkisar dari sosok renta Mahatma Gandhi sampai Bung Karno yang gagah memesona.
Contoh klasik karya Cartier-Bresson berjudul Rue Mouffetard, dibikin tahun 1954. Potret seorang bocah dengan kebanggaan luar biasa menenteng botol minuman keras.
Senyumnya melebar, mengubah lorong kecil kumuh di sudut kota Paris menjadi pentas akbar. Senyuman si bocah dan lirikan kepada botol minuman segera memicu tumbuhnya kegairahan luar biasa yang langsung menyebar ke lingkungan sekeliling.
Sejumlah karya puncah Cartier-Bresson, foto dan lukisan, sampai tanggal 27 Juli mendatang, dipamerkan di Bibliotheque Nationale, Paris. Pameran tersebut sekaligus meresmikan berdirinya Foundation Henri Cartier-Bresson, yayasan nirlaba yang mewarisi semua karya dan dipersembahkan sepenuhnya kepada segala hal yang berkaitan dengan fotografi.
Kantor yayasan ini berada di sebuah gedung abad XIX yang baru dipugar, di Montparnasse, Paris, Perancis. Untuk menandai ualng tahunnya ke-95 nanti, Cartier-Bresson akan menyelenggarakan pameran pribadi bertajuk, Henrie Cartier-Bresson Choice. Maka, sekarang ini ia sedang menyeleksi 93 foto dari 85 karya pemotret sejawatnya, termasuk karya-karya Robert Capa, George Rodger, dan David Seymour.
Bersama ketiga juru foto tersebut, Cartier-Bresson pada tahun 1974 mendirikan Magnum Agency, biro foto yang bertekad menjadi saksi mata atas segala macam peristiwa di pelosok Bumi. Hasil karya mereka segera menjadi tumpuan masyarakat luas.
Sukses Magnum didukung oleh kejayaan majalah-majalah bergambar, media utama yang bisa menyajikan laporan secara visual, di zaman sebelum televisi mengambil alih peran.
Sayang peran Magnum kini semakin surut, seiring perubahan zaman serta berkembangnya pilihan terhadap media massa.
Kemunduran yang tragis, setragis kematian para juru foto Magnum ketika memburu peristiwa. Robert Capa hancur bersama tubuhnya di Vietnam saat menginjak ranjau. David Seymour  terbunuh dalam berondongan tembakan pasukan Israel, dan Werner Bischof mati mengenaskan ketika mobil yang sedang ia tumpangi terguling masuk ke jurang di pedesaan Peru.
Cartier-Bresson lahir tanggal 22 Agustus 1908 dari keluarga kaya di Chantelopup, Paris. Cartier-Bresson muda pada awalnya meniti karier dengan menjadi pelukis surealis dengan mengemban kredo, "... siapa pun harus berani berkelana tanpa arah agar bisa menemukan hal-hal tak terduga."
Kredo tersebut mengantar langkah Cartier-Bresson ke Afrika. Tahun 1931 di Pantai Gading, waktu itu masih koloni Perancis, dia berubah jadi juru foto, sesudah merasa bahwa kamera ternyata lebih mampu untuk mengabadikan sebuah decisive moment.
"Memotret artinya menghayati sesuatu peristiwa. Dan dengan sekejap akan bisa menghadirkan keabadian sekaligus memberi makna terhadap setiap momen termaksud. Artinya, anda mempu menyerasikan gerak otak, mata, dan pandangan. Inilah makna sebuah kehidupan." nasihat Carier-Bresson kepada setiap juru foto.
Berdasarkan pemikiran ini, dia tak pernah merekayasa adegan, bahkan juga tidak senang melakukan cropping, pemanisan posisi dan penyuntingan hasil akhir sebuah foto.
Meski mampu mengjasilkan foto-foto mengagumkan, jejak Carteir-Bresson sangat berliku, misterius, dan sering aneh.
Ia jarang sekali bersedia diambil gambarnya, enggan melakukan wawancara, dan hidupnya penuh petualangan. Ketika Jerman menyerbu Perancis, Bresson langsung bergabung dalam dinas militer. Tahun 1940 dia titangkap, dikirim ke kamp kerja paksa, sampai akhirnya pada Februari 1943, berhasil meloloskan diri dari tahanan dan terjun menjadi gerilyawan.
Seusai perang, jiwanya yang selalu bergejolah mengantarnya ke India, Cina, dan Indonesia. Bresson mengabadikan sosok Mahatma Gandhi, hanya beberapa jam sebelum tembakan, seorang Hindu fanatik telah mengakhiri semuanya.
Di daratan Cina, dia berhasil mengabadikan tumbangnya rezim koumintang dan naiknya kekuasaan komunis, sementara di Indonesia adalah saksi mata selama perang kemerdekaan.
Beberapa tahun yang lalu, di Gedung Arsip Nasional, diselenggarakan pameran sejumlah foto karya Bresson semasa menjelajah Indonesia. Pada tembok pameran, panitia menempelkan selembar kertas tulisan tangan Cartier-Bresson, tertanggal Paris, 15 Februari 2002. "Pour mes amis Indonesiens, Tetap Merdeka. Untuk para sahabatku orang Indonesia, Tetap Merdeka."
Kenangan dan juga jejak Cartier-Bresson di Indonesia memang sangat mendalam. Tahun 1937, dalam keremangan di Kafe Dome, Paris, dia jatuh cinta dalam pandangan pertama kepada seorang penari asal Jawa. Penari ini adalah wanita Indo-Eropa bernama Caroline Jeanne de Souza, bekas istri William Baretti, redaktur koran Sukabumi Post. Tahun itu juga mereka menikah, dan Caroline, lahir di Meester Cornelis (kini Jatinegara) kemudian mengubah namanya menjadi eksotis, Retna Mohini.
Hidup perkawinan mereka bertahan sekitar 14 tahun. Awal tahun 50-an dalam perjalanan di Balikhasztan, Iran, mobilnya menemui kecelakaan. Salah satu jari Retna terluka sehingga tak lagi bisa lelentik. Musibah ini mengakhiri kariernya sebagai penari, dan dilengkapi persoalan pribadi, sebuah perceraian tidak bisa terhindarkan.
Dua hal dilakukan oleh Henri Cartier-Bresson di kala senja usia mulai menjemput. Pertama, menyimpan kamera sekaligus meninggalkan profesinya sebagai juru foto dan malah kembali kepada talenta awal, melukis. Kedua, menikah dengan juru foto Martine Franck. Mereka bertiga, Bresson, Martine dan Melanie, putri tunggalnya, kini tinggal bersama dalam sebuah apartemen di Rue de Rivoli, Paris. Untuk menyongsong peringatan ulang tahun sang juru foto, mereka juga baru saja menerbitkan katalog dalam judul, Henri Cartier-Bresson: The Man, the Image and the World.
Kepada koran The New York Times, Henrie-Cartier-Bresson pernah mengatakan, "Karya foto hanyalah sketsa, sedangkan melukis merupakan meditasi. Selama lima puluh tahun saya sudah pernah menjadi juru foto. Tetapi, berapa banyak pernah kalian lihat karya tersebut dalam waktu lebih dari tiga detik, 50 atau mungkin 100?"
Inilah alasannya sehingga tidak ada satu pun foto tergantung di dinding apartemennya. "Sudah tiga puluh tahun saya tidak lagi mau memegang kamera. Saya tak suka dengan foto karena Anda tak bakal menangkap suasana, hanya kesan selintas.." (JULIUS POUR)

Rabu, 02 Maret 2011

Tujuan Pergerakan Kamera (Camera Moving)


Pergerakan kamera dalam tata fotografi televisi mempunyai tujuan tertentu serta mempunyai sasaran tertentu pula. Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dipikirkan, misalnya:  Apakah tujuan membuat gambar untuk memperlihatkan? Apakah pergerakan yang akan diperlihatkan keluar dari frame gambar? Apakah terdapat pergerakan ataupun subyek yang dengan tidak sengaja masuk dalam frame? dll .

Memilih Pergerakan Kamera
Pan & Tilt
Melakukan pan artinya kamera tetap pada tempatnya tetapi menoleh/melihat kearah kiri atau kanan. Sedangkan tilt gerakan kamera mengangguk kebawah dan menengadah keatas. Kedua pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk mengikuti suatu pergerakan subyek, memperlihatkan bagian-bagian yang mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, memperlihatkan suatu pandangan secara keseluruhan serta menghindari subyek yang tidak diinginkan muncul di gambar (frame).Tujuan artistiknya untuk menghubungkan beberapa subyek yang letaknya terpisah, memperlihatkan hubungan suatu bagian dengan bagian lainnya, memperlihatkan sebab akibat, mengalihkan perhatian penonton, serta untuk membangun rasa tegang (tension).
Pedesta-up
Pedestal adalah merupakan tempat dudukan kamera didalam studio televisi. Jika pedestal ini dinaikkan (up), tentu dengan sendirinya kamera naik dan bergerak keatas. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk melihat suatu pergerakan secara keseluruhan dan untuk menghindari subyek dari foreground gambar. Tujuan artistiknya untuk memperlihatkan suatu subyek dari bawah ke atas, mengurangi kekuatan dari subyek dan untuk mengurangi dominasi foreground.
Pedestal-down
Pedestal-down artinya pedestal diturunkan dengan sendirinya kamera bergerak kebawah. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk mendapatkan level shot dari subyek-subyek yang rendah dari kedudukannya, mengambil gambar dengan subyek pada foreground serta bertujuan agar action yang terdapat di bagian belakang gambar tidak kelihatan dengan jelas. Tujuan artistiknya untuk meningkatkan perhatian penonton dan menambah kekuatan subyek.
Track-in
Melakukan track-in artinya kamera digerakkan mendekati subyek, didalam studio televisi biasanya kamera ditempatkan diatas dudukan kamera berupa pedestal, tripod dilengkapi dolly dan khusus untuk studio televisi yang besar dilengkapi dengan sebuah crane. Untuk shoting diluar studio (out-side broadcast), kamera ditempatkan pada tripod, dan tripod diletakkan diatas rel, jadi track-in dilakukan dengan mempergunakan rel supaya hasilnya baik dan tidak ada goncangan.
Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk memperlihatkan action dengan detail, menghindari subyek-subyek yang tidak perlu didalam gambar, mengkomposisikan kembali gambar setelah terjadi perubahan tempat kedudukan subyek ataupun subyek yang keluar frame, merubah titik perhatian dalam gambar (frame), dan untuk memperkuat subyek yang menuju kamera. Tujuan artistiknya untuk menciptakan effek subyektif, meningkatkan suasana tegang (tension), mengikuti subyek yang mulai lemah dominasinya (subyek menjauhi kamera), mengalihkan perhatian penonton, memusatkan titik perhatian, memperlihatkan informasi baru pada gambar dan untuk memperlihatkan subyek yang penting. 
Track-out
Melakukan track-out adalah kamera menjauhi subyek atau kamera mundur dari subyek. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk memperluas sudut pandang, memperlihatkan lebih banyak dari subyek, memperlihatkan action yang lebih luas, memperlihatkan informasi baru, memperlihatkan masuknya subyek yang baru ke dalam gambar dan untuk mengakomodasikan pergerakan yang datang. Tujuan artistiknya untuk mengurangi dominasi, menciptakan efek subyektif, memperlihatkan suatu kejutan, meningkatkan suasana tegang dan untuk memperlihatkan hubungan.
Truck/Crabbing
Melakukan truck atau crab artinya gerakan kamera kesamping kiri atau kanan yang membentuk garis lurus dari tempat kamera semula (pertama kali). Di dalam studio televisi kamera ditempatkan pada pedestal, tripod dilengkapi dolly atau dengan crane, tetapi untuk diluar studio (out-side broadcast) biasanya memakai peralatan tambahan untuk dudukan tripodnya berupa rel. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk melihat sebuah subyek dari sudut pandang yang lain (tanpa terjadinya transisi gambar), mengikutkan atau tidak mengikutkan subyek-subyek pada foreground maupun background, memperbaiki posisi subyek yang salah letaknya, memperlihatkan informasi ataupun subyek baru yang muncul dalam gambar, dan untuk mengkomposisikan kembali gambar. Tujuan artistiknya untuk merubah titik perhatian penonton.
Pergerakan kamera beserta tujuannya perlu dimengerti bagi yang berkecimpung di dunia pertelevisian.

Salam Indonesia ...

Senin, 28 Februari 2011

PERGERAKAN KAMERA dalam TELEVISI



KAMERA TETAP
Kamera tetap yang bergerak adalah lensa dan head kamera pada mounting kamera diatas tripod atau pedestal. Gerakannya berupa zomm-in/out dan pan, tilt up/down, pedestal up/down.

Panning kamera
Dengan melakukan panning akan terjalin hubungan antara dua buah subyek atau tempat. Panning menggerakkan kepala kamera ke kanan/ke kiri. Sebuah pan yang dilakukan secara perlahan-lahan dan halus dapat menimbulkan keuntungan ataupun kerugian, ini tentunya tergantung bagaimana dipergunakan untuk merekam gambar-gambar yang diinginkan.
Apabila kamera secara perlahan melakukan panning terhadap sebuah subyek secara terus-menerus, daya tariknya akan meningkat sehingga penonton tetap pada subyek tersebut, sehingga membangun titik klimats. Akan tetapi sebuah pan yang dilakukan secara perlahan dan tidak didasarkan pada suatu motivasi akan menghilangkan titik perhatian.
Following pan
Following pan merupakan pergerakan kamera yang paling umum dilakukan. Kamera akan mengikuti sebuah subyek yang lagi bergerak dengan sebuah pan. Panning dengan sebuah long-shot akan mengakibatkan penonton dapat melihat hubungan yang terjadi antara subyek dan lingkungannya. Interaksi visual tercipta antara subyek dan background yang bergerak sehingga menimbulkan dampak yang dinamis.
Surveying pan
Kamera secara berlahan akan menyusuri pemandangan alam atau sekelompok orang sehingga menyebabkan penonton dapat melakukan observasi berdasarkan apa yang ingin dilihat mereka dalam gambar tersebut.
Pergerakan ini menimbulkan unsur dramatik dan rasa ingin tahu yang besar dalam diri penonton.
Interrupted pan
Pan ini merupakan sebuah pergerakan halus yang dengan tiba-tiba dihentikan untuk menghubungkan dua buah subyek yang terpisah satu dengan lainnya. Contoh : kamera mengikuti pergerakan segerombolan anak muda, mereka melewati seorang gadis cantik, kamera berhenti pada si gadis, gerombolan anak muda berjalan terus, seorang anak muda muncul dalam gambar (in frame) dan menyapa gadis tersebut.

KAMERA BERPINDAH
Kamera berpindah dengan menggerakkan tripod/pedestal dengan mendekati subyek (track-in), menjauhi subyek (track-out), gerakan membentuk garis lurus sejajar dengan subyek (truck/crab) dan gerakan membentuk garis setengah lingkaran terhadap subyek (arcing/swing)

Track-in/dollying-in
Pergerakan ini merupakan pergerakan ke subyek. Track-in menimbulakan peningkatan titik perhatian, rasa ingin tahu dan rasa tegang (tension), ingin melibatkan penonton (efek subyektif), seakan-akan penonton sendiri yang maju ke subyek tersebut, karena lensa seakan-akan mata penonton.
Track-out/Dollying-back
Pergerakan ini dengan secara perlahan mengurangi kekuatan titik/pusat perhatian dan sekaligus mengurangi rasa tegang, keingintahuan atau harapan.
Crabbing/trucking
Bergerak melintasi scene (adegan) secara paralel dengan set ataupun pergerakan subyek. Efek trucking (crabbing) sering dihubungkan dengan harapan, menyelidiki, observasi dan yang penting adalah memperlihatkan bagian lain dari subyek.
Yang paling penting diperhatikan adalah setiap pergerakan kamera adalah berdasarkan motivasi, smooth dan kecepatan.
Swing/Arcing
Mengelilingi sebuah subyek untuk melihat dari titik pandang yang lain, seakan-akan pergerakan ini dilakukan oleh penonton bila swing untuk satu orang (subyek diam).
Swing untuk dua orang, pergantian posisi kamera dengan melakukan swing/arcing akan menolong wajah seseorang yang sebagian tertutup oleh bagian badan orang lain.

Jumat, 25 Februari 2011

Dudukan Kamera di Studio Televisi


Kamera di Studio Televisi biasanya ditopang oleh sebuah penyangga, penyangga ini dapat berupa tripod, pedestal atau crane.

A. PEDESTAL
Ketinggian kamera yang ditopang dengan pedestal dapat diatur dengan mempergunakan steering wheel yang biasanya berbentuk lingkaran, ketinggiannya umumnya setinggi 2 meter dan serendah-rendahnya 1 meter.
Dengan mempergunakan penopang pedestal kedudukan kameranya lebih stabil dan mampu bergerak dengan lincahnya kesegala arah didalam studio televisi.

B. CRANE

Crane sering dipergunakan dalam pelaksanaan shooting diluar studio, akan tetapi ada juga dipergunakan didalam studio (seperti acara-acara show musik). Dengan menggunakan crane dimungkinkan kedudukan kamera lebih tinggi.
Keuntungan yang didapat aoabila menggunakan crane adalah benda-benda didalam dekorasi yang digunakan sebagai foreground tidak menjadi halangan.

C. TRIPOD

Jenis tripod ada dua macam, jenis pertama yang statis, artinya tripod ini berdiri tegak ditempatnya. Yang kedua tripod yang dapat bergerak disebut juga sebagai rolling tripod. Kedua jenis tripod ini sering digunakan untuk siaran luar (live, produksi di luar studio, sinetron, feature & stok shot).

D. Hand Held Camera

Penyangga kamera agar stabil dapat pula digunakan body brace atau model lainnya seperti steadicam.

Salam Indonesia ...