KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Sabtu, 05 Maret 2011

Ansel Adams, Mengangkat Fotografi ke Jenjang Tertinggi

KOMPAS, ARBAIN RAMBEY

Berapa harga selembar foto? Kalau Anda ke Pasar Baru, Jakarta, harga selembar foto bintang F4 (F she) ukuran kartu pos adalah Rp. 5.000. Ini mahal sekali sebab, selain itu semata foto repro alias bajakan, ongkos cetak selembar kartu pos berwarna sebenarnya hanya Rp. 1.000.. Namun, bagaimana kalau ada foto yang harganya selembar sekitar Rp. 300 juta?
Demikianlah foto berjudul Tetons and Snake River, Grand Teton National Park buatan tahun 1942 karya Ansel Adams (20 Februari 1902-22 April 1984) dari Amerika Serikat, cetakan asli, memang berharga segitu. Karya lain Ansel Adams yang berjudul Moonrise, Hernandez 1941 juga berharga sama. Foto-foto Adams yang masuk kategori murah pun harganya masih sekitar 10.000 dollar Amerika Serikat alias sekitar Rp. 80 juta, seperti Dunes, Oceano, CA, 1963.
Saat ini, di beberapa tempat di AS sedang berlangsung pameran foto peringatan 100 tahun Ansel Adams. Beberapa kantor berita pun mengirim foto-foto Ansel Adams ke koran-koran yang berlangganan kepadanya.
Mengapa foto-foto Ansel Adams dalam bentuk cetakan asli berharga begitu mahal?
Siapa pun yang pernah melihat foto asli karya Ansel Adams, yang umumnya foto pemandangan alam hitam putih, akan sepakat bahwa foto-foto itu sangat luar biasa. Selain alam yang disajikan sangatlah indah, detail dalam foto itu termasuk kontras dan pencahayaannya tidak ada cacatnya. Bisa dikatakan, karya Ansel Adams adalah pencapaian tertinggi dalam seni fotografi.
Ada beberapa orang yang mengatakan, foto-foto Ansel Adams tampak bagus karena alam yang dipotretnya memang sudah bagus. Akan tetapi, sesungguhnya tidaklah demikian. Banyak fotografer mencoba memotret alam yang sama dengan yang dipotret Ansel Adams, dengan sudut yang sama dan pencahayaan yang dirancang semirip mungkin. Hasilnya, umumnya jauh di bawah karya Adams.
Fotografi Ansel Adams adalah karya yang dihasilkan melalui pemikiran yang dalam, pengalaman di laboratorium foto bertahun-tahun, serta kesabaran dan keuletan di lapangan. Sehari ia bekerja 18 jam. Dan, kerja keras ini dijalaninya bertahun-tahun. Adams sama sekali tidak kenal hari libur. Untuk mencapai tempat pemotretan, Ansel Adams sering harus berjalan berjam-jam, bahkan berhari-hari, dengan membawa peralatan sangat berat. Kamera yang digunakan Ansel Adams hampir selalu kamera format besar.
Dari pengalaman lapangannya itu, Adams sudah menelurkan sebuah teori fotografi hitam putih yang sangat terkenal, yaitu Sistem Zona. Dengan sistem ini, tiap nada di alam punya korelasi dengan sebuah kepekatan dalam foto hitam putih. Maka, pada setiap foto Ansel Adams, kita bisa melihat warna putih dan hitam tampil menawan sejajar dengan aneka gradasi abu-abu pada lembar yang sama.
Adams tidak pernah membutuhkan koreksi pencetakan pada semua fotonya. Sekali lagi, semua fotonya. Mencetak foto Ansel Adams adalah mencetak dengan durasi persis sama pada semua foto karena presisi pencahayaan yang dibuat Adams memang setinggi itu. Juga, posisi enlarger (alat cetak foto) selalu tetap, tergantung ukuran kertas yang dipakai saja. Negatif yang dihasilkan Adams adalah hasil final.
Namun kritik terbesar bagi Adams adalah betapa miskinnya obyek foto yang dipilihnya. Fotografer kondang Henri Cartier-Bresson pernah berkata, "Dunia ini sangat beraneka ragam. Tapi yang dipotret (Ansel) Adams dan (Edward) Weston hanyalah karang dan pohon."
Ansel Adams lahir dan dibesarkan di San Fransisco. Ayahnya, Charles Hitchcock Adams, adalah seorang pengusaha. Ibunya, Olive Bray, hanya ibu rumah tangga biasa. Sebagai anak tunggal dari orangtua yang terlambat menikah (Ansel lahir saat ibunya hampir berumur 40 tahun), Ansel Adams cukup mendapat perhatian. Sejak kecil ia sudah menampakkan kecerdasan lebih, juga sangat aktif. Dalam sebuah biografi, keaktifan fisik Ansel Adams akan dikategorikan sebagai hiperaktif untuk definisi saat ini. Selain itu, Ansel juga mengidap disleksia (gangguan kesulitan membaca). Akibatnya, Ansel mengalami kesulitan dalam sekolahnya. Akhirnya pendidikan formal Ansel cuma sampai tingkat delapan di AS, atau kira-kira setara SLTP.
Pada tahun 1907, keluarga Adams bangkrut. Dan sejak itu, kesulitan ekonomi memang melanda keluarga ini. Satu-satunya kegembiraan Ansel kecil adalah menikmati alam, dekat jembatan The Golden Gate. Hampir setiap hari ia terlihat bermain-main di sana seusai les piano yang dijalaninya.
Sejak usia belasan, Adams sudah senang memotret dengan kamera Kodak No1 Box Brownie yang diberikan ayahnya. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan sebuah klub pencinta alam, Sierre Club. Di klub ini pula ia berjumpa dengan istrinya, Virginia Best, yang dinikahinya tahun 1928, yang lalu memberinya dua anak. Walau aktif di kegiatan pencinta alam sambil senang memotret, cita-cita Adams sampai saat ini adalah menjadi pemusik.
Maka, sesungguhnya tahun yang sangat menentukan karier Adams adalah tahun 1927. Pada tahun itu, ia menghasilkan serial foto "Monolith, the Face of Half Dome" di Taman Nasional Yosemite. Pada tahun itu pula, ia mengaku bisa lepas dari bayang-bayang pengaruh Albert M Bender, seorang tokoh seni San Fransisco, sekaligus meninggalkan keinginan untuk menjadi pemusik.
Titik besar lainnya adalah saat ia berjumpa fotografer Paul Strand pada tahun 1930, juga Alfred Stieglietz. Sejak saat itu Adams bertekad menciptakan straight photography, atau foto yang tanpa manipulasi apa pun, tidak ada dodging dan burning pada prosesnya.
Pada tahun 1927, Adams berjumpa dengan Edward Weston, dan keduanya lalu mendirikan Grup f/64 pada tahun 1932. Grup ini adalah kelompok fotografer yang memotret hanya dengan bukaan diafragma 64 (kecil sekali) untuk mendapatkan ketajaman gambar maksimal. Walau grup ini berjalan dengan setengah main-main, kelompok inilah mendobrak prestise fotografi seni menjadi seperti sekarang.
Walau foto-fotonya berharga sangat mahal, sampai tahun 1940-an Adams bukanlah fotografer yang kaya. Ia masih sering kesulitan uang, seperti terlihat dalam sebaris suratnya kepada weston, "Banyak sekali, ya, kerjaanku. Tapi, tetap saja aku miskin."
Banyak pula buku yang sudah dihasilkannya. Buku otobiografinya tidak selesai dikerjakan karena ia keburu meninggal pada tahun 1984. Namun, bukunya diselesaikan Mary Street Alinder dan terbit tahun 1985.
Buku lainnya adalah The John Muir Trail (1938). Michael and Anne in Yosemite Valley (1941), Born Free and Equal (1944), Illustrated Guide to Yosemite Valley (1946), The Negative (1948), Yosemite and the High Sierra (1948), The Print (1950), My Camera in Yosemite Valley (1950), My Camera in the National Parks (1950), The Land of Little Rain (1950), Natural Light Photography (1952), Death Valley (1954), The Pageant of History in Northhern California (1954) dan Artificial Light Photography (1956).
Selain itu juga The Islands of Hawaii (1958), Yosemite Valley (1959), Death Valley and the Creek Called Furnace (1962), These We Inherit: The Parklands of America (1962), Polaroid Land Photography Manual (1963), An Introduction to Hawaii (1964), Fiat Lux: The University of California (1967), The Tetons and the Yellowstone (1970), Ansel Adams (1972), Singular Images (1974) Ansel Adams: Images 1923-1974 (1974), Photographs of the Southwest (1976), The Portfolios of Ansel Adams (1977), Polaroid Land Photography (1978), Yosemite and the Range of Light (1979), The Camera (1980), The Negative (1981) dan The Print (1983). (ARB)

Jumat, 04 Maret 2011

Hadiah Fotografi Pulitzer, Selera Amerika Diakui Dunia

KOMPAS, ARBAIN RAMBEY

Menghargai sebuah benda yang tidak terukur amatlah sulit. Dan benda itu adalah foto jurnalistik. Apa tolok ukur yang harus kita pakai untuk menilainya?
Amerika Serikat (AS), negara yang sanngat menggembar-gemborkan kebebasan dan demokrasi, punya cara tersendiri. Mereka menggabungkan akademisi dan prektisi jurnalistik untuk menilai. Dan muncullah penghargaan Pulitzer untuk fotografi jurnalistik sejak 1942 menyambung penghargaan-penghargaan Pulitzer lain yang sudah diberikan sejak tahun 1917.
Foto jurnalistik adalah berita juga. Dan berita sering jadi alat politik. Masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana embedded journalist yang menempel pada pasukan AS yang menyerang Irak beberapa waktu yang lalu membuat berita dan mengirim foto sesuai keinginan Pemerintah AS semata. Barang kali "tuduhan" serupa akan menempel pula pada foto-foto pemenang Pulitzer.
Tapi, mengamati kumpulan foto pemenang hadiah Pulitzer dalam buku Moment, The Pulitzer Prize-Winning Photographs A Visual Chronicle of Our Time, kita akan berpikir lain. Kenyataannya, foto-foto pemenang Pulitzer terasa berpihak pada "sesuatu yang benar". Secara sekilas pun, foto-foto Pulitzer sulit untuk dituduh menjadi corong AS karena foto-foto terpilih hanyalah foto yang diterbitkan koran lokal AS saja.
Ada beberapa foto pemenang Pulitzer yang justru membuat marah orang AS terhadap pemerintahnya sendiri, misalnya foto karya Paul Watson pemenang penghargaan tahun 1994 untuk kategori berita. Foto ini cukup seram karena menampilkan mayat seorang marinir AS yang diseret-seret warga Mogadishu menyusul kegagalan pasukan AS menyelesaikan konflik internal di Somalia tahun 1993.
Peristiwa ini secara sekilas bisa disaksikan dalam film berjudul Black Hawk Down yang beberapa waktu lalu diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Saat foto Watson ini muncul di koran The Toronto Star, dan juga beberapa koran di AS, banyak orang menuduh foto ini tidak etis dan sadis. Beberapa pelanggan The Toronto Star langsung menyatakan berhenti berlangganan.
Di satu sisi, foto ini memang menimbulkan kemarahan dan kejijikan pada realitas perang. Namun di sisi lain, foto ini menampar Pemerintah AS. Karya Watson ini mengingatkan AS agar tidak usah  ikut campur pada urusan intern negeri lain. Beberapa waktu kemudian, AS menarik seluruh pasukannya dari Somalia.
Pada tahun1970-an, foto pemenang Pulitzer karya Eddie Adams pun membuat masyarakat AS menuntut pemerintahnya agar segera keluar dari Vietnam.
Walau begitu, ada pula foto-foto pemenang Pulitzer yang sekilas tampak "usil" pada tokoh atau kepentingan negara lain. Cobalah tengok foto pemenang Pulitzer kategori berita tahun 1980. Dengan menyembunyikan nama pemotretnya untuk alasan keamanan, foto itu menampilkan adegan eksekusi di sebuah tempat di Iran. Saat itu tahun 1979, Pemerintah Iran di bawah Ayatullah Khomeini mengalami pemberontakan etnis Kurdi. Maka, di beberapa tempat berlangsung pengadilan-pengadilan singkat terhadap pemberontak Kurdi yang tertangkap. Dan pengadilan ini selalu memutuskan hukuman mati.
Panitia Pulitzer tidak menyebutkan nama sang fotografer karena menurut panitia, "Agar sang fotografer tidak mengalami nasib sama dengan adegan fotonya."
Keusilan lain yang khas Amerika adalah foto pemenang kategori feature tahun 1997 karya Alexander Zemlianichenko. Presiden Rusia Boris Yeltsin yang sedang berkampanya untuk pemilihan umum tampak berdansa dengan sebuah band jazz. Di satu sisi, Amerika seperti mengejek Rusia, namun di sisi lain foto ini menguak sisi manusiawi seorang presiden Rusia yang selama ini dianggap sangat "angker".
Selain itu, foto yang juga mengungkap campur tangan AS di negara lain bisa dilihat pada foto karya Carol Guzy pemenang kategori berita tahun 1995. Foto ini menampilkan dua orang serdadu AS yang melindungi seorang yang akan dirajam massa. Konflik internal di Haiti juga membuat Pemerintah AS merasa perlu untuk ikut campur.
Pulitzer juga punya banyak foto yang mewakili hati nurani. Tengoklah foto karya tim Associated Press yang merekam perang saudara dan pengungsian besar-besaran di Rwanda. Serial foto pemenang kategori feature tahun 1995 ini menunjukkan bahwa pada beberapa tempat dan waktu di dunia ini, nyawa manusia tidak ada harganya sama sekali.
Namun, kasus paling terkenal dalam sejarah Pulitzer adalah kasus bunuh dirinya seorang pemenang. Jadi, Kevin Carter yang memenangkan kategori berita tahun 1994 justru merasa bersalah karena ia menang di atas derita orang lain.
Pada awal tahun 1993, Carter mendapat tugas meliput kasus kelaparan di Sudan. Sebuah foto dari liputannya itulah yang kemudian mendapat hadiah Pulitzer pada tahun 1994.
Fotonya yang memenangkan hadiah itu adalah gambar seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan menuju posko pembagian makanan. Di dekat anak itu, seekor burung pemakan bangkai menunggu seakan yakin bahwa anak kecil itu sebentar lagi menjadi santapannya.
Saat menerima hadiah Pulitzer di New York tanggal 23 Mei 1994 di New York, tida ada yang menyangka bahwa Carter telah menyimpan kepedihan tersendiri. Kepada beberapa temannya, Carter mengatakan bahwa ia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu. Ia kuatir kalau anak itu betul-betul dimakan burung pemakan bangkai.
Jadi, saat menerima hadiah Pulitzer itu sebenarnya Carter telah mengalami penderitaan batin yang dalam. Dua bulan kemudian, ia ditemukan mati bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam sebuah suratnya yang ditinggalkannya, Carter menegaskan bahwa ia mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya dibandingkan tugas kemanusiaan.
Kasus Carter di atas bisa dikatakan sebagai kasus ekstrem untuk pekerjaan seorang jurnalis foto.
Akhirnya, Hadiah Pulitzer bisa dikatakan sangat berbau Amerika. Namun, eksekusinya memang sangat didasari hati nurani oleh jurnalis yang telah punya pengalaman banyak.
Pendek kata, Hadiah Pulitzer memang bergaya Amerika. Tapi dia telah mewakili dunia. (ARBAIN RAMBEY)

Henri Cartier-Bresson, Saksi Mata Peristiwa Dunia

KOMPAS, JULIUS POUR

Kehidupan merupakan rangkaian momen detik demi detik. Ini semua membentuk perjalanan waktu teramat panjang. Salah satu detik dari rangkaian tersebut, decisive moment, merupakan momen paling bermakna untuk bisa diabadikan menjadi sebuah foto, lukisan, atau gambar. Atas dasar inilah maka "... hal-hal terkecil sekalipun selalu dapat menjadi tema besar dan kisah tentang manusia secara mendetail yang bisa ditampilkan sebagai ciri khas kehidupan," kata Henri Cartier-Bresson dalam bukunya, Images ala Sauvette.
Maka, inilah yang sepanjang hidup dikejar Bresson ke segenap pelosok dunia. Mulai dari jalan-jalan di Paris yang menggairahkan sampai ke padang belukar Afrika, sejak bordil mesum di Meksiko hingga kemegahan Candi Borobudur. Berkisar dari sosok renta Mahatma Gandhi sampai Bung Karno yang gagah memesona.
Contoh klasik karya Cartier-Bresson berjudul Rue Mouffetard, dibikin tahun 1954. Potret seorang bocah dengan kebanggaan luar biasa menenteng botol minuman keras.
Senyumnya melebar, mengubah lorong kecil kumuh di sudut kota Paris menjadi pentas akbar. Senyuman si bocah dan lirikan kepada botol minuman segera memicu tumbuhnya kegairahan luar biasa yang langsung menyebar ke lingkungan sekeliling.
Sejumlah karya puncah Cartier-Bresson, foto dan lukisan, sampai tanggal 27 Juli mendatang, dipamerkan di Bibliotheque Nationale, Paris. Pameran tersebut sekaligus meresmikan berdirinya Foundation Henri Cartier-Bresson, yayasan nirlaba yang mewarisi semua karya dan dipersembahkan sepenuhnya kepada segala hal yang berkaitan dengan fotografi.
Kantor yayasan ini berada di sebuah gedung abad XIX yang baru dipugar, di Montparnasse, Paris, Perancis. Untuk menandai ualng tahunnya ke-95 nanti, Cartier-Bresson akan menyelenggarakan pameran pribadi bertajuk, Henrie Cartier-Bresson Choice. Maka, sekarang ini ia sedang menyeleksi 93 foto dari 85 karya pemotret sejawatnya, termasuk karya-karya Robert Capa, George Rodger, dan David Seymour.
Bersama ketiga juru foto tersebut, Cartier-Bresson pada tahun 1974 mendirikan Magnum Agency, biro foto yang bertekad menjadi saksi mata atas segala macam peristiwa di pelosok Bumi. Hasil karya mereka segera menjadi tumpuan masyarakat luas.
Sukses Magnum didukung oleh kejayaan majalah-majalah bergambar, media utama yang bisa menyajikan laporan secara visual, di zaman sebelum televisi mengambil alih peran.
Sayang peran Magnum kini semakin surut, seiring perubahan zaman serta berkembangnya pilihan terhadap media massa.
Kemunduran yang tragis, setragis kematian para juru foto Magnum ketika memburu peristiwa. Robert Capa hancur bersama tubuhnya di Vietnam saat menginjak ranjau. David Seymour  terbunuh dalam berondongan tembakan pasukan Israel, dan Werner Bischof mati mengenaskan ketika mobil yang sedang ia tumpangi terguling masuk ke jurang di pedesaan Peru.
Cartier-Bresson lahir tanggal 22 Agustus 1908 dari keluarga kaya di Chantelopup, Paris. Cartier-Bresson muda pada awalnya meniti karier dengan menjadi pelukis surealis dengan mengemban kredo, "... siapa pun harus berani berkelana tanpa arah agar bisa menemukan hal-hal tak terduga."
Kredo tersebut mengantar langkah Cartier-Bresson ke Afrika. Tahun 1931 di Pantai Gading, waktu itu masih koloni Perancis, dia berubah jadi juru foto, sesudah merasa bahwa kamera ternyata lebih mampu untuk mengabadikan sebuah decisive moment.
"Memotret artinya menghayati sesuatu peristiwa. Dan dengan sekejap akan bisa menghadirkan keabadian sekaligus memberi makna terhadap setiap momen termaksud. Artinya, anda mempu menyerasikan gerak otak, mata, dan pandangan. Inilah makna sebuah kehidupan." nasihat Carier-Bresson kepada setiap juru foto.
Berdasarkan pemikiran ini, dia tak pernah merekayasa adegan, bahkan juga tidak senang melakukan cropping, pemanisan posisi dan penyuntingan hasil akhir sebuah foto.
Meski mampu mengjasilkan foto-foto mengagumkan, jejak Carteir-Bresson sangat berliku, misterius, dan sering aneh.
Ia jarang sekali bersedia diambil gambarnya, enggan melakukan wawancara, dan hidupnya penuh petualangan. Ketika Jerman menyerbu Perancis, Bresson langsung bergabung dalam dinas militer. Tahun 1940 dia titangkap, dikirim ke kamp kerja paksa, sampai akhirnya pada Februari 1943, berhasil meloloskan diri dari tahanan dan terjun menjadi gerilyawan.
Seusai perang, jiwanya yang selalu bergejolah mengantarnya ke India, Cina, dan Indonesia. Bresson mengabadikan sosok Mahatma Gandhi, hanya beberapa jam sebelum tembakan, seorang Hindu fanatik telah mengakhiri semuanya.
Di daratan Cina, dia berhasil mengabadikan tumbangnya rezim koumintang dan naiknya kekuasaan komunis, sementara di Indonesia adalah saksi mata selama perang kemerdekaan.
Beberapa tahun yang lalu, di Gedung Arsip Nasional, diselenggarakan pameran sejumlah foto karya Bresson semasa menjelajah Indonesia. Pada tembok pameran, panitia menempelkan selembar kertas tulisan tangan Cartier-Bresson, tertanggal Paris, 15 Februari 2002. "Pour mes amis Indonesiens, Tetap Merdeka. Untuk para sahabatku orang Indonesia, Tetap Merdeka."
Kenangan dan juga jejak Cartier-Bresson di Indonesia memang sangat mendalam. Tahun 1937, dalam keremangan di Kafe Dome, Paris, dia jatuh cinta dalam pandangan pertama kepada seorang penari asal Jawa. Penari ini adalah wanita Indo-Eropa bernama Caroline Jeanne de Souza, bekas istri William Baretti, redaktur koran Sukabumi Post. Tahun itu juga mereka menikah, dan Caroline, lahir di Meester Cornelis (kini Jatinegara) kemudian mengubah namanya menjadi eksotis, Retna Mohini.
Hidup perkawinan mereka bertahan sekitar 14 tahun. Awal tahun 50-an dalam perjalanan di Balikhasztan, Iran, mobilnya menemui kecelakaan. Salah satu jari Retna terluka sehingga tak lagi bisa lelentik. Musibah ini mengakhiri kariernya sebagai penari, dan dilengkapi persoalan pribadi, sebuah perceraian tidak bisa terhindarkan.
Dua hal dilakukan oleh Henri Cartier-Bresson di kala senja usia mulai menjemput. Pertama, menyimpan kamera sekaligus meninggalkan profesinya sebagai juru foto dan malah kembali kepada talenta awal, melukis. Kedua, menikah dengan juru foto Martine Franck. Mereka bertiga, Bresson, Martine dan Melanie, putri tunggalnya, kini tinggal bersama dalam sebuah apartemen di Rue de Rivoli, Paris. Untuk menyongsong peringatan ulang tahun sang juru foto, mereka juga baru saja menerbitkan katalog dalam judul, Henri Cartier-Bresson: The Man, the Image and the World.
Kepada koran The New York Times, Henrie-Cartier-Bresson pernah mengatakan, "Karya foto hanyalah sketsa, sedangkan melukis merupakan meditasi. Selama lima puluh tahun saya sudah pernah menjadi juru foto. Tetapi, berapa banyak pernah kalian lihat karya tersebut dalam waktu lebih dari tiga detik, 50 atau mungkin 100?"
Inilah alasannya sehingga tidak ada satu pun foto tergantung di dinding apartemennya. "Sudah tiga puluh tahun saya tidak lagi mau memegang kamera. Saya tak suka dengan foto karena Anda tak bakal menangkap suasana, hanya kesan selintas.." (JULIUS POUR)

Rabu, 02 Maret 2011

Tujuan Pergerakan Kamera (Camera Moving)


Pergerakan kamera dalam tata fotografi televisi mempunyai tujuan tertentu serta mempunyai sasaran tertentu pula. Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dipikirkan, misalnya:  Apakah tujuan membuat gambar untuk memperlihatkan? Apakah pergerakan yang akan diperlihatkan keluar dari frame gambar? Apakah terdapat pergerakan ataupun subyek yang dengan tidak sengaja masuk dalam frame? dll .

Memilih Pergerakan Kamera
Pan & Tilt
Melakukan pan artinya kamera tetap pada tempatnya tetapi menoleh/melihat kearah kiri atau kanan. Sedangkan tilt gerakan kamera mengangguk kebawah dan menengadah keatas. Kedua pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk mengikuti suatu pergerakan subyek, memperlihatkan bagian-bagian yang mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, memperlihatkan suatu pandangan secara keseluruhan serta menghindari subyek yang tidak diinginkan muncul di gambar (frame).Tujuan artistiknya untuk menghubungkan beberapa subyek yang letaknya terpisah, memperlihatkan hubungan suatu bagian dengan bagian lainnya, memperlihatkan sebab akibat, mengalihkan perhatian penonton, serta untuk membangun rasa tegang (tension).
Pedesta-up
Pedestal adalah merupakan tempat dudukan kamera didalam studio televisi. Jika pedestal ini dinaikkan (up), tentu dengan sendirinya kamera naik dan bergerak keatas. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk melihat suatu pergerakan secara keseluruhan dan untuk menghindari subyek dari foreground gambar. Tujuan artistiknya untuk memperlihatkan suatu subyek dari bawah ke atas, mengurangi kekuatan dari subyek dan untuk mengurangi dominasi foreground.
Pedestal-down
Pedestal-down artinya pedestal diturunkan dengan sendirinya kamera bergerak kebawah. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk mendapatkan level shot dari subyek-subyek yang rendah dari kedudukannya, mengambil gambar dengan subyek pada foreground serta bertujuan agar action yang terdapat di bagian belakang gambar tidak kelihatan dengan jelas. Tujuan artistiknya untuk meningkatkan perhatian penonton dan menambah kekuatan subyek.
Track-in
Melakukan track-in artinya kamera digerakkan mendekati subyek, didalam studio televisi biasanya kamera ditempatkan diatas dudukan kamera berupa pedestal, tripod dilengkapi dolly dan khusus untuk studio televisi yang besar dilengkapi dengan sebuah crane. Untuk shoting diluar studio (out-side broadcast), kamera ditempatkan pada tripod, dan tripod diletakkan diatas rel, jadi track-in dilakukan dengan mempergunakan rel supaya hasilnya baik dan tidak ada goncangan.
Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk memperlihatkan action dengan detail, menghindari subyek-subyek yang tidak perlu didalam gambar, mengkomposisikan kembali gambar setelah terjadi perubahan tempat kedudukan subyek ataupun subyek yang keluar frame, merubah titik perhatian dalam gambar (frame), dan untuk memperkuat subyek yang menuju kamera. Tujuan artistiknya untuk menciptakan effek subyektif, meningkatkan suasana tegang (tension), mengikuti subyek yang mulai lemah dominasinya (subyek menjauhi kamera), mengalihkan perhatian penonton, memusatkan titik perhatian, memperlihatkan informasi baru pada gambar dan untuk memperlihatkan subyek yang penting. 
Track-out
Melakukan track-out adalah kamera menjauhi subyek atau kamera mundur dari subyek. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk memperluas sudut pandang, memperlihatkan lebih banyak dari subyek, memperlihatkan action yang lebih luas, memperlihatkan informasi baru, memperlihatkan masuknya subyek yang baru ke dalam gambar dan untuk mengakomodasikan pergerakan yang datang. Tujuan artistiknya untuk mengurangi dominasi, menciptakan efek subyektif, memperlihatkan suatu kejutan, meningkatkan suasana tegang dan untuk memperlihatkan hubungan.
Truck/Crabbing
Melakukan truck atau crab artinya gerakan kamera kesamping kiri atau kanan yang membentuk garis lurus dari tempat kamera semula (pertama kali). Di dalam studio televisi kamera ditempatkan pada pedestal, tripod dilengkapi dolly atau dengan crane, tetapi untuk diluar studio (out-side broadcast) biasanya memakai peralatan tambahan untuk dudukan tripodnya berupa rel. Pergerakan ini mempunyai tujuan mekanik untuk melihat sebuah subyek dari sudut pandang yang lain (tanpa terjadinya transisi gambar), mengikutkan atau tidak mengikutkan subyek-subyek pada foreground maupun background, memperbaiki posisi subyek yang salah letaknya, memperlihatkan informasi ataupun subyek baru yang muncul dalam gambar, dan untuk mengkomposisikan kembali gambar. Tujuan artistiknya untuk merubah titik perhatian penonton.
Pergerakan kamera beserta tujuannya perlu dimengerti bagi yang berkecimpung di dunia pertelevisian.

Salam Indonesia ...