KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Selasa, 21 Juni 2011

Fotojurnalis, Melakukan Segala dengan Kameranya

FOTOMEDIA, Mei 2003, kr/arb

Dalam banyak diskusi fotografi, umumnya dengan kelompok-kelompok fotografi mahasiswa, pertanyaan ini hampir selalu muncul : "Dalam suatu keadaan tertentu di mana ada orang dalam kesulitan, seorang fotografer sebaiknya menolong atau memotret?"
Coba kita simak kasus Kevin Carter, fotografer lepas untuk kantor berita Reuters dan Sygma Photos New York di Afrika Selatan. Pada awal tahun 1993, Carter mendapat tugas meliput kasus kelaparan besar di Sudan. Banyak foto yang dihasilkan Carter dari liputannya ini. Dan sebuah foto dari liputannya itu kemudian mendapat hadiah sangat bergengsi untuk fotojurnalis, Hadiah Pulitzer pada tahun 1994.
Fotonya yang memenangkan hadiah itu adalah gambar seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan menuju posko pembagian makanan. Di dekat anak itu, seekor burung pemakan bangkai menunggu, seakan yakin bahwa anak kecil itu sebentar lagi menjadi santapannya.
Saat menerima Hadiah Pulitzer di New York tanggal 23 Mei 1994 di New York, tidak ada yang menyangka bahwa Carter telah menyimpan kesedihan tersendiri. Kepada beberapa temannya, Carter mengatakan bahwa ia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu. Ia kuatir kalau anak itu betul-betul dimakan burung pemakan bangkai. Jadi, saat menerima Hadiah Pulitzer itu sebenarnya Carter telah mengalami penderitaan batin yang dalam. Dua bulan kemudian, ia ditemukan mati bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam sebuah surat yang ditinggalkannya, Carter menegaskan bahwa ia mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya dibandingkan kewajiban kemanusiaan.
Nasib Carter di atas bisa dikatakan sebagai sebuah kasus ekstrim untuk pekerjaan seorang fotojurnalis pada masalah membenturkan etika profesi dan etika moral. Kasus Carter ini menjadi makin menarik karena setelah Carter bunuh diri, diberitakan bahwa anak dalam foto Carter itu ternyata masih segar bugar, sama sekali tidak menjadi santapan burung pemakan bangkai seperti yang dibayangkan Carter.
Namun kasus lain yang lebih kecil bisa saja dialami fotojurnalis di mana pun termasuk di Indonesia. Tulisan ini tidak akan memberikan penegasan pada pilihan yang harus diambil seorang fotojurnalis, namun mengajak berpikir bahwa dengan kameranya sebenarnya seorang fotojurnalis bisa berbuat lebih banyak daripada sekadar menolong secara langsung.

Menghentikan perang
Pada perang Vietnam, Edward Adams yang biasa dipanggil Eddie Adams dari kantor berita Associated Press, AS, berniat memotret ganasnya perang di Saigon. Waktu itu tanggal 1 Februari 1968 adalah Hari Raya Tet, hari yang dianggap suci oleh orang Vietnam. Tidak ada yang menyangka bahwa pasukan Vietcong menyerang Saigon justru pada hari itu. Perang ini kemudian dikenal dengan "Tet Offensive".
Di tengah hiruk pikuk perang kota di Saigon, Adams melihat serombongan polisi Vietnam membawa seorang tawanan. Rombongan itu lalu berbelok ke sebuah lorong. Adams memutuskan untuk mengikuti rombongan itu dan meninggalkan adegan perang yang sedang seru di tengah.
Rombongan berhenti di sebuah sudut dimana sebuah jip menunggu. Dari dalam jip, Kepala Polisi Vietnam, Brigjen Nguyen Ngoc Loan turun dan langsung menghampiri tawanan yang dituduh sebagai salah satu pemimpin penyusupan Veitcong ini. Para Polisi lain segera menyingkir melihat Loan berjalan perlahan menuju sang tawanan yang tangannya terikat di belakang badannya ini.
Naluri Adams mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu. Ia menyiapkan Nikon F-2nya yang terisi film B/W Kodak Tri X Pan. Dan kemudian dalam hitungan waktu sangat singkat, Loan mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menembak kepala tawanan itu dalam jarak yang sangat dekat. Waktu sangat singkat, namun Adams mendapatkan gambar adegan itu, bahkan foto itu memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1969.
Waktu Eddie Adams ke Jakarta pada tahun 1995, ia bercerita bahwa sejak sang tawanan didekati Loan, dirinya sudah merasa akan terjadi pembunuhan jalanan. "Yang bisa saya lakukan adalah memotret," kata Adams.
Sebelum kita membahas masalah yang ada di balik foto Adams lebih jauh lagi, kita lihat lagi sebuah kejadian yang masih di Perang Vietnam. Kejadian terjadi kira-kira empat tahun setelah Tet Offensive tadi.
Waktu itu 8 Juni 1972, Kota Trang Bang sekitar 40 kilometer barat Saigon sudah dikuasai Vietcong. Pasukan Vietnam Utara ini menutup akses darat dari Trang Bang ke Saigon lewat Jalan Raya nomor 1. Dengan blokade itu, otomatis terjadi kelumpuhan di ruas Trang Bang-Saigon. Maka pasukan Veitnam Selatan minta bantuan angkatan udaranya yang dibantu pasukan AS untuk melakukan pengeboman terhadap posisi Vietcong di sana.
Terjadi kesalahan besar, Bom Napalm (yang biasa juga disebut bom bensin) jatuh di wilayah pengungsi Vietnam Selatan yang sedang meninggalkan Trang Bang. Banyak sekali korban jatuh. Seorang fotografer asal Vietnam Selatan, Huynh Cong Ut, atau yang biasa dipanggil teman-temannya dengan "Nick Ut" sedang berjalan kaki dari Saigon ke Trang Bang. Ia dengan jelas melihat semua adegan dengan lengkap, sejak pesawat pembom meninggalkan Saigon sampai dengan adegan pembomannya.
Rombongan orang yang terluka oleh Napalm salah sasaran itu melewati Nick Ut, termasuk seorang gadis kecil Phan Thi Kim Phuc yang telanjang bulat. Pakaian gadis itu sudah terbakar habis, sementara punggungnya penuh luka bakar.
Nick Ut merasa tidak bisa berbuat apa-apa pada luka-luka yang diderita Phan. Ia berangkat ke Trang Bang memang dengan tujuan membuat liputan semata. Nick Ut tidak membawa peralatan P3K apa pun selain kamera Leicanya yang terisi film B/W Kodak Tri X Pan. Nick Ut akhirnya memotret adegan Phan sedang berlari itu, dan fotonya ini meraih Hadiah Pulitzer tahun 1973.

Efek Jangka Panjang
Ada dua hal penting yang terjadi akibat foto-foto yang dibuat Eddie Adams dan Nick Ut tadi. Foto Adams membuat orang-orang Amerika marah pada Perang Vietnam. Foto penembakan jalanan tanpa pengadilan yang dilakukan Kepala Polisi Loan itu telah membeberkan kebobrokan perang secara umum. Dalam sebuah ulasan tentang foto Adams itu tertulis komentar begini: "Kami semua jadi ragu. Demokrasi dan kebebasan seperti inikah yang dibela Amerika?"
Foto Adams itu dan juga ulasan-ulasan yang kemudian muncul di berbagai surat kabar membuat para warga AS yang notabene membayar pajak untuk membiayai Perang Vietnam marah. Mereka mulai bertanya-tanya pada motivasi AS terlibat di Vietnam. Keganasan jalanan yang direkam Adams diyakini hanya sebagian dari keganasan yang sebenarnya terjadi. Dan keganasan itu jauh dari misi yang digembar-gemborkan pemerintah AS untuk menyakinkan warganya pada keterlibatan negara adidaya itu di Vietnam.
Puncak kemarahan warga AS pada Perang Vietnam makin menjadi setelah foto Nick Ut tercetak di berbagai media massa. Warga AS melihat kesalahan pengeboman itu sudah tidak bisa ditolerir lagi. AS meninggalkan Vietnam tidak lama kemudian.
Pada kasus foto Eddie Adams dan Nick Ut, terlihat bahwa kedua fotografer memang teguh tugas yang diembannya, yaitu memotret. Adams tidak menolong orang yang dihukum mati di jalanan itu selain karena dia tidak punya cukup legitimasi untuk menghentikannya, ia juga merasa yakin bisa "menolong" dengan cara lain. Dengan memotret adegan itu lalu mengedarkannya, Adams merasa telah berbuat sesuatu yang jauh lebih besar kadarnya daripada sekedar berusaha berteriak-teriak agar hukuman mati jalanan itu tidak dilaksanakan.
Yang dilakukan Nick Ut pun tidak jauh berbeda. Ia lebih memilih memotret karena memang pilihannya hanya itu. Namun, dengan mengedarkan fotonya ke seluruh dunia, "pertolongan" yang lebih besar telah datang ke Vietnam. Pada akhir tahun 90-an lalu, Nick Ut mencari Phan Thi Kim Phuc yang telah menikah dengan warga Kanada. Ia memotret lagi Phan yang sedang menggendong bayinya. Punggung Phan yang tampak "mengerikan" akibat bekas terbakar pada 30 tahun sebelumnya diekspos Nick Ut dengan baik. Dan dengan fotonya itu, kembali Nick Ut mendapat penghargaan.
Bagi seorang fotojurnalis, kewajiban di lapangan adalah memotret. Dalam peristiwa bencana alam misalnya. Seorang fotojurnalis harus mengutamakan tugas memotret. Dengan foto-fotonya, ia bisa memberitakan realitas sebuah bencana kepada semua orang. Tanpa fotonya, orang di luar tidak akan tahu bahwa ada bencana alam di suatu tempat.
Sebuah foto bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa yang tidak terbayangkan siapa pun. Foto karya Adams dan Nick Ut adalah contoh bagaimana foto bisa mempercepat berhentinya perang. Jadi, seorang fotojurnalis harus yakin bahwa dengan kameranya ia bisa berbuat banyak. Kamera adalah senjata yang ampuh di tangan fotojurnalis yang baik. (kr/arb)