KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Selasa, 13 September 2011

PELAKU DOSA JADI IDOLA, KORUPTOR DIPUJA KARENA DERMAWAN

FACEBOOK, Tasawuf Djawa

Menyedihkan sekali, dalam masyarakat yang mayoritas Islam, yang menjunjung tinggi akhlak mulia, yang senantiasa menyerukan untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) ini, uang hasil korupsi, uang hasil sogok-menyogok deng...an dalih komisi, diskon, hadiah sama-sama senang dan sejenisnya yang dinikmati secara pribadi dan tidak kembali ke lembaga, uang hasil judi, uang hasil menjual minuman keras, uang hasil menipu dan rejeki haram lainnya, lebih dihargai dibanding kejujuran. Sungguh sangat memprihatinkan jika para pelaku dosa justru menjadi idola, pengawal serta pengaman jiwa dan harta masyarakat justru berperilaku mirip dengan serigala ganas berbulu domba. Situasi yang mirip dengan saat-saat menjelang kehancuran Majapahit. Bersyukur kita sempat memiliki cendekiawan muslim Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang dalam berbagai kesempatan melakukan koreksi, seharusnya ulama, masjid dan pesantren bisa tumbuh menjadi pondasi dan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak boleh kehilangan independensinya. Jika sudah suntuk dengan situasi ibukota yang seperti itu, biasanya saya lari ke pedesaan, mengadu kepada ustadz-ustadz desa yang tawadhu, yang zuhud dan wara, ke ustadz Mufasir di Barubug, Serang. Ke Abah Endang di Conggeang, Sumedang. Ke Abah Thoyib di Mojokerto, ke ustadz Hasani di Pasuruan, ke ustadz Hambali di Lasem atau ke ustadz-ustadz lain yang dianjurkan oleh beliau-beliau. Di suatu hari beberapa tahun lalu, ustadz Mufasir bercerita, kenalan baik saya, seorang mantan menteri, berkunjung ke beliau untuk minta didoakan agar bisa kembali menjabat sebagai menteri. Kepada kawan saya ini ustadz bertanya, apa yang sudah dilakukannya untuk umat sewaktu menjadi menteri atau pejabat tinggi yang telah menjadikannya kaya raya? Kawan saya menjawab bahwa ia telah membantu berbagai kegiatan keagamaan, mendanai aneka aktivitas keumatan dan masyarakat, membangun pesantren, sekolah Islam dan banyak masjid. Dengan menceritakan pertemuan itu, ustadz Mufasir berpesan wanti-wanti, menasihati dengan sangat agar kita tidak meniru kawan saya tadi, yang berdalih korupsi demi perjuangan umat. Yang membuat teori keseimbangan. Dosa korupsi yang berarti menzalimi rakyat, dalam sangkaannya dapat ditebus dengan beramal memberikan sumbangan ke pesantren, ke kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan serta membangun masjid. Masjid yang dibangunnya, kata ustadz tidak pantas untuk salat, bahkan patut dibakar. Masjid seperti itu lebih buruk dari masjid dhirar yang dibangun oleh orang-orang munafik pada zaman Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah : 108, “Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya”. Nasihat ini sering membuat saya was-was jika harus salat di sebuah masjid yang megah lagi mewah. Saya yang lemah ini resah tiada daya. Betapa tidak, tatkala hendak salat saya mensucikan diri dengan berwudu, tetapi sesudah itu duduk dan bersujud di lantai yang jangan-jangan dibangun dengan sumbangan dari seorang koruptor atau dari hasil perbuatan zalim. Duduk dan bersujud di lantai yang dibangun dengan uang haram. Baginda Rasul bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Umar dan Ahmad, “Barang siapa yang membeli pakaian dengan sepuluh dirham, sedang di dalamnya terdapat dirham dari barang haram, maka Allah tidak akan menerima salatnya selagi pakaian itu ada pada dirinya”. Nah, ini bukan lagi pakaiannya, bahkan tempat sujudnya. Naudzubillah. (Gbr : Serigala berbulu domba dari Google Images)