KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Jumat, 20 Mei 2011

SISTEM ZONA ala ANSEL ADAMS

FOTOMEDIA. No. 4, 1994. ARBAIN RAMBEY

Untuk memahami sistem zona Ansel Adams, kita harus sudah memahami kerja di kamar gelap yang meliputi peoses cuci dan cetak hitam putih. Selain itu, sistem zona mengharuskan kita mempunyai suatu standar baku yang jelas tolok ukurnya.
Pertama, kita harus menentukan posisi standar alat pembesar (enlarger) kita. Tandai ketinggian posisi pilihan kita itu agar kalau kita mencetak foto, ketinggian standarlah yang dipakai. Beda ketinggian posisi lensa enlarger, berarti beda pula intensitas penyinaran saat mencetak.
Kedua, kita standarkan pula bukaan diafragma enlarger yang kita pakai. Kalau kita memutuskan memakai f/8, pakailah selalu bukaan ini untuk mencetak kapanpun.
Ketiga, kita standarkan tingkat kontras kertas yang akan kita pakai. Sekali kita memutuskan memakai kertas grade 3, pakailah selalu kertas kelas ini.
Dan keempat, biasakanlah mamakai obat-obat kamar gelap yang dicampur dengan pas, serta selalu segar. Jangan lupa pula untuk menstandarkan suhu kamar gelap dan juga obat-obatan yang dipakai.
Setelah kita menstandarkan segala perlengkapan, kini saatnya kita menata film dan lama pencahayaan standar kita. Sekali kita memutuskan memakai sebuah merek film, pakailah merek itu terus. Dan sekali kita memakai suatu ISO tertentu, pakai pula ISO itu untuk seterusnya. Warna hitam mutlak pada kertas foto terbentuk akibat penyinaran dari bagian negatif yang bening. Untuk itu, kita harus memiliki satu bingkai dari film yang sama sekali tidak pernah disinari sehingga ia bening total. Negatif bening total ini berguna untuk mencari tolok ukur berapa lama kita harus menyinari kertas sampai mendapatkan warna hitam mutlak.
Dari film yang bening total itu, kita membuat cetakan ke kertas pada setelan standar di atas. Buat beberapa cetakan, paling baik dengan cara test stripes pada satu lembar kertas. Beda lama penyinaran antara cetakan yang satu dengan yang lain buatlah teratur, misalnya selang dua detik.
Perhatikan cetakan-cetakan kita. Pada suatu saat tertentu, warna hitam sudah tidak bisa bertambah lagi. Dan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi hitam mutlak ini adalah waktu yang tepat untuk penyinaran-penyinaran pada pencetakan foto kita.
Sekarang kita mulai mengukur berapa sebenarnya ISO film yang kita pakai. Cara ini tidak lazim pada foto warna, namun pada foto hitam putih sering terjadi bahwa ISO yang tertera di kemasan tidak selalu tepat seperti tercantum pada film.
Potretlah sebuah grey card pada penyinaran yang rata. Lalu cetak foto grey card tadi dengan lama penyinaran yang telah kita dapat. Buat lagi beberapa cetakan dengan penyinaran yang over dan juga under sampai beberapa stop, dengan mengubah bukaan diafragma lensa enlarger. Jangan mengubah-ubah lamanya penyinaran.
Perhatikan, dari beberapa cetakan, mana yang paling mirip dengan grey card asli. Biasanya, pencetakan dengan waktu standar justru bukanlah yang mirip. Inilah fakta bahwa sebenarnya angka ISO yang tertera di kemasan film tidak tepat seperti itu.
Kalau misalnya cetakan yang mirip dengan grey card asli adalah yang under satu stop, berarti ISO film kita lebih tinggi satu tingkat daripada yang tertera di kemasannya. Misalkan di kemasan tertera sebagai ISO-100, lain kali kalau dipakai memotret anggaplah sebagai ISO-200.
Saat kita memotret, pergunakanlah setelan ISO seperti hasil pengukuran kita, dan kalau mencetak pergunakanlah lama waktu standar yang kita peroleh pada pencetakan hitam mutlak.
Setelah itu, kita perlu membuat tabel sistem zona. Kita cetak lagi foto grey card dengan beberapa kombinasi bukaan. Kita harus mendapatkan bermacam cetakan dari yang hitam pekat sampai yang putih total.
Cetakan-cetakan inilah yang disebut tabel sistem zona, dan dapat kita gunakan untuk memperkirakan tone dalam suatu pemotretan.
Ansel Adams membagi berbagai gradasi foto dalam sepuluh zona, yaitu dari zona nol sampai zona sembilan. Yang disebut zona nol adalah hitam total maksimal yang bisa dicapai kertas foto, sedangkan zona sembilan adalah putih total pada kertas foto yang belum pernah tersinari sama sekali.
Zona 0-3 biasa disebut zona bayangan, zona 4-6 adalah zona menengah yang biasanya menjadi "terjemahan" warna-warna merah, biru atau hijau, sedangkan zona 7-9 adalah zona highlights atau zona terang untuk pantulan-pantulan warna atau tekstur yang sangat tipis.
Teori zona Ansel Adams memang tidak mudah untuk dipahami apalagi oleh pemula. Para pakar foto pun tidak begitu saja bisa menandingi Ansel Adams walau teorinya telah dibahas di mana-mana. Cara Adams memang cara sangat teliti dan akurat.
Selain sangat berbakat, Ansel telah membekali dirinya dengan ketekunan yang tidak kenal lelah dalam waktu sangat lama. Ia fotografer besar yang sulit dicari tandingannya. (ARB)

ANSEL ADAMS, MAESTRO FOTO HITAM PUTIH

FOTOMEDIA. No. 4, 1994. ARBAIN RAMBEY

Siapapun yang tidak kenal nama Ansel Adams, sulit untuk mengklaim bahwa dirinya adalah penggemar fotografi hitam putih. Ansel Adams yang fotografer asal AS ini, bisa dikatakan merupakan salah satu fotografer hitam putih yang paling menonjol.
Karya-karya Adams yang hampir semua merupakan foto pemandangan dan alam benda, sangat indah dan khas. Kehalusan detil, kontras foto dan juga keunggulan teknis lain pada foto-foto karyanya sulit ditiru atau bahkan disamai siapapun.
Dalam foto-foto karya Adams, semua nada muncul dengan sangat pas. Hitam pekat sampai putih total semuanya tersaji dalam porsi yang sebaiknya jangan diubah lagi. Dan itulah sebabnya hampir semua cetakan asli karya Adams berharga sampai jutaan rupiah perlembarnya.
Popularitas Adams didapat dari usahanya yang sangat keras di bidang fotografi hitam putih. Ia sangat intens dalam mempelajari sifat-sifat film dan kertas hitam putih. Pendalamannya yang merupakan gabungan antara teori dasar fotografi dan pengalaman empiris itu, akhirnya membuahkan teori sistem zona (zone system) yang banyak dianut para fotografer hitam putih di dunia.
Pendekatan yang dilakukan Adams dalam menghasilkan sebuah foto adalah proses-proses yang tidak sederhana. Bagi fotografer otodidak ini, sebuah foto adalah media analisis. Foto adalah aksi manusia atas kesadarannya pada alam, seperti dikatakan Adams dalam sebuah publikasi cetak perusahaan peralatan fotografi Hasselblad dari Swedia.
Bagi Adams, fotografi adalah seni mengamati suatu keadaan, dan efektivitas fotografi ditentukan oleh kuat dan intensnya sebuah pengamatan. Hanya pengamatan dan keputusan hasil pengamatan yang kuat yang akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi sangat terbatas yaitu cuma tersaji pada sehelai kertas, namun dengan keterbatasannya itu, kalau diolah dengan benar sebuah foto justru akan memiliki kekuatan yang sangat besar.
Dengan definisi tentang pengolahan dari pengalaman itu, Adams mengatakan bahwa tidak ada teori komposisi yang bisa dianut.
"Tidak ada hukum pasti tentang komposisi dalam fotografi. Yang ada hanyalah foto baik atau foto buruk!." kata Adams. Ucapannya itu seakan menegaskan bahwa foto yang baik itu memang baik, bukan karena komposisinya atau hal-hal lain.
Ucapan Adams barangkali banyak benernya. Karya-karya fotografer top biasanya memang mengabaikan teori komposisi. Alex Webb dari kantor berita foto Magnum misalnya, justru sering dengan sengaja memasang sebuah pohon hitam melintang di tengah fotonya, namun justru menghasilkan foto yang menarik. Fotografer pemenang Pulitzer, Eddie Adams, bahkan mengatakan bahwa untuk belajar komposisi sebaiknya sering melihat komik.
Sebenarnya, foto karya Ansel Adams sudah tercipta sebelum ia menjepretkan rana kamera format besarnya (sejak beberapa tahun lalu Ansel Adams juga menggunakan kamera medium format).
Sebelum memotret suatu pemandangan misalnya, di otak Adams telah berlangsung berbagai visualisasi pada hasil final fotonya nanti. Inti utama rancangan visualisasi dalam otak Adams adalah bagaimana agar foto karyanya bisa memiliki definite departure from reality (tidak seperti yang dilihat mata pada pemandangan aslinya).
Dengan berbagai rancangan yang sangat matang sebelum menjepretkan rana, foto-foto Adams memang hampir tidak memerlukan rekayasa kamar gelap seperti dodging, burning atau mengganti-ganti tingkat kontras kertas.
Rekayasa yang dilakukan Adams memang terjadi tidak di kamar gelap, namun di dalam proses kreatifnya selama bertahun-tahun. Pengalamannya dalam berbagai pendekatan, pemotretan dan pencetakan, membuatnya betul-betul tahu kapan bisa menjepretkan rana untuk menghasilkan negatif prima.
"Pendekatan fotografi saya membutuhkan keseriusan dan juga tekad untuk memahami teori dasar fotografi sedalam-dalamnya. Memang ini membutuhkan waktu yang lama, namun saya rasa hanya cara ini yang bisa dilakukan," demikian Adams tentang pengalamannya.
Secara tegas Adams mengatakan bahwa teori dasar fotografi harus dipahami fotografer manapun untuk bisa maju dan mampu mendapatkan gaya khas. Tanpa memahami teori dasar fotografi, seorang fotografer tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Namun seperti telah disinggung di atas, Adams memang tidak mendasarkan kemampuannya semata dari teori. Ia menambahkan pengalaman empiris yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Pengalaman empiris hasil penelitian Adams yang paling menonjol adalah pemahamannya yang sangat dalam pada kemampuan kertas foto "menampung" gradasi yang ada di alam nyata. Juga sistem zona.
Dalam penelitian Adams, kontras yang terjadi di alam antara keadaan sangat terang dan sangat gelap berbanding antara 1600 banding 1. Artinya, bagian paling terang di alam 1600 kali lebih cerah daripada bagian tergelap.
Sedangkan kertas foto cuma mampu menampung perbandingan kecerahan 1 : 50. Daya tarik utama foto-foto Adams terjadi karena ia mampu menerjemahkan perbedaan perbandingan itu dengan baik, antara lain dengan bantuan sistem zonanya.
Secara urut, beginilah tahap-tahap yang dilakukan Ansel Adams dalam menghasilkan sebuah karya foto.

1. Perhatikan "daerah" yang akan dipotret, dan batasi dengan baik. Kenali baik-baik daerah itu, cari bagian mana yang paling gelap. Jangan mudah terkecoh. Secara sekilas kita akan mengira bahwa kain hitam adalah bagian tergelap pada sebuah foto.
Kenyataannya, kain hitam kalau dipotret dan lalu dicetak dengan benar, hanya akan menghasilkan abu-abu tua. Dari pengalaman, bayangan biasanya merupakan bagian tergelap dari sebuah foto. Benda-benda lain yang berwarna hitam sebenarnya hanya abu-abu dalam fotonya nanti. Pengalaman akan mengajari kita memahami hal ini.
Kalau kita ingin sedikit mendapatkan kepastian tentang benda yang akan tampak hitam dalam foto, ambillah sebuah kartu pos lalu letakkan di atas lampu minyak sehingga ia menjadi hitam tertutup jelaga. Hitamnya jelaga nyaris merupakan hitam mutlak dalam foto hitam putih.

2. Sekarang perhatikan bagian paling terang pada daerah yang akan kita potret. Sama halnya seperti saat mencari bagian paling gelap, kita harus waspada agar tidak terkecoh. Kertas putih sering justru menghasilkan abu-abu muda pada foto.
Kilatan logam yang memantulkan sinar matahari bisa dikatakan akan menghasilkan warna putih total pada foto.

3. Setelah mendapatkan dua bagian ekstrem pada daerah yang akan kita potret, pikirkan bagaimana "meringkas" jarak kedua kecerahan ekstrem itu ke dalam negatif film. dan juga ke kertas fotonya nanti.
Usahakan bijaksana memahami hal itu. Sebuah sendok yang mengkilat akan menjadi bagian terputih pada foto kita, namun misalnya sendok itu tidak jadi ikut dipotret, sebuah taplak putih di bawah sendok haruslah menjadi bagian terputih dari foto kita nanti.
Pemahaman keadaan relatif ini perlu sebab foto hitam putih memang menerjemahkan apa yang ada di alam semata ke dalam nuansa hitam putih. Selain itu, Adams memang mengatakan bahwa pada foto hitam putih, walau memotret keadaan nyata, haruslah tampak tidak seperti mata melihat. Harus ada nilai tambah secara visual, terutama karena foto itu menyandang predikat sebagai sebuah karya.

4. Setelah mendapatkan "kunci" kedua keadaan ekstrem, kita telusuri gradasi tengahnya. Sebaiknya pemotret membekali dirinya dengan grey card (kartu abu-abu 18 persen yang biasanya dijadikan tolok ukur pencahayaan).
Bandingkan bagian paling terang dan bagian tergelap dengan gray card tadi. Dengan membuat perbandingan secara visual tadi, efek subjektif sudah terjadi di benak fotografer.
Selain itu, pemotret juga harus sudah paham perbandingan "nada" antarwarna. Bagaimana bila warna merah diletakkan di atas dasar hijau atau biru, demikian pula sebaliknya. Ada efek visual yang terjadi di mata antara merah di atas dasar biru atau merah di atas dasar hijau, walau dalam kenyataannya warna itu tidak berubah.
Pemahaman berbagai gradasi nada itulah yang membuat Adams sulit ditandingi siapapun, terutama untuk foto hitam putih.
Ansel Adams pertama kali mengenal fotografi pada usia 14 tahun di tahun 1916. Ia begitu terpesona pada keindahan taman nasional AS, Yosemite Valley di California. Ia banyak memotret di sana dengan kamera Kodak Brownie. Sampai beberapa tahun kemudian pun, foto-foto terbaik Ansel dibuat di Yosemite Valley.
Setelah itu, Ansel belajar teori fotografi secara sangat serius sampai menguasai segala tetek-bengek kamar gelap. Pada tahun 1930 ia telah menjadi salah seorang fotografer AS terkemuka dan melakukan pameran tunggal di Alfred Stieglitz's Gallery dengan judul, "An American Place".
Fotografer yang sangat mempengaruhi Ansel Adams adalah Paul Strand. Selain itu ia juga pernah bekerja sama dengan fotografer lain, Edward Weston, dalam waktu lama. Weston inilah yang mengenalkan proses cetak yang sangat teliti pada Adams.
Dua foto Ansel Adams yang paling terkenal adalah Banner Peak buatan tahun 1923 dan The Half Dome buatan tahun 1926. Kedua foto ini menampilkan kehalusan detil yang luar biasa, yang didapat dari proses kamar gelap yang sangat akurat. (ARBAIN RAMBEY)

Kamis, 19 Mei 2011

MENYELINAP KE PENJARA MENGABADIKAN KEMATIAN

FOTOMEDIA. No. 1, 1994. Eduardo A. Wibowo

Jumat 13 Januari 1928, masyarakat Amerika Serikat, terutama warga kota New York dicengangkan oleh tabloid Daily News. Hari itu, pada kulit muka tabloid ini terpampang tulisan besar dan pendek "Dead!" di atas sebuah gambar seorang wanita yang tengah menghadapi ajal di kursi listrik hukuman mati.
Berita tentang hukuman mati adalah hal yang biasa. Daily News menjadi istimewa bukan karena berita hukuman mati melainkan karena memuat foto sebuah pelaksanaan hukuman mati.
Sebelumnya tidak pernah ada media massa yang memuat foto eksekusi hukuman mati. Karena memang umumnya pelaksanaan hukuman mati tidak boleh difoto. Bagaimana foto eksekusi itu bisa sampai ke tangan Daily News?
Ada cerita menarik di balik pemuatan foto itu. Dan ini merupakan salah satu peristiwa sejarah foto jurnalistik yang perlu kita simak.
Daily News yang didirikan tahun 1919 semula bernama Ilustrated Daily News. Tabloid ini banyak diminati pembaca karena beritanya yang sensasional terutama yang menyangkut masalah kriminalitas dan seks. Bahkan pada tahun 1924 Daily News menjadi surat kabar paling luas peredarannya di Amerika Serikat. Seperti tabloid pada umumnya, Daily News sanantiasa menampilkan gambar yang hampir memenuhi halaman muka.
Pada akhir tahun 1927 New York dihangatkan berita tentang Ruth Snyder yang dituduh telah menghabisi nyawa suaminya sendiri. Motif cinta segi tiga menghadapkan Ruth Snyder ke pangadilan yang menjatuhkan vonis hukuman mati dengan kursi listrik. Eksekusi hukuman mati tersebut akan dilaksanakan di penjara Sing Sing, New York.
Redaksi Daily News memutuskan untuk memuat foto eksekusi hukuman mati itu. Tapi ternyata untuk mewujudkan rencana pemuatan foto eksekusi ini tidak mudah. Meskipun tidak ada peraturan yang melarang, tapi tradisi penjara dan petugas penjara tidak akan membiarkan orang mengabadikan eksekusi hukuman mati. Wartawan tulis mendapat undangan untuk meliput eksekusi, tapi wartawan foto tidak pernah bisa memasuki ruang eksekusi.
Berarti untuk bisa mendapatkan gambar eksekusi, sang wartawan harus menyelundupkan kamera ke penjara. Pemotretan eksekusi harus dilakukan tanpa sepengetahuan petugas penjara.
Maka disiapkanlah sebuah kamera rahasia. Kamera ini cukup kecil hingga bisa dikaitkan pada mata kaki pemotret. Untuk membuka rana digunakan seutas kabel release panjang yang menghubungkan kamera dengan saku.
Pemotretan tidak menggunakan film tapi dengan sekeping pelat kaca seukuran kotak korek api. Dituntut kepiawaian sang pemotret untuk bisa memotret satu kali dan berhasil. Karena demi kerahasiaan tidak ada kesempatan mengganti pelat kaca lagi.
Karena wajah wartawan foto Daily News sudah dikenal oleh polisi New York, tidak mungkin bisa memasuki ruang eksekusi. Maka didatangkan Tom Howard dari Chicago Tribune untuk mengemban tugas ini. Howard datang ke New York satu bulan sebelum pelaksanaan eksekusi.
Waktu satu bulan itu digunakan untuk belajar membidikkan kamera rahasia. Selain belajar mengoperasikan kamera Howard juga mempelajari blueprint ruang eksekusi yang diberikan editor Daily News kepadanya. Ini perlu untuk menentukan beberapa kemungkinan posisi berdiri Howard dalam melaksanakan pemotretan.
Selain itu juga diperlukan untuk memperkirakan jarak fokus yang harus digunakan untuk melaksanakan pemotretan. Jarak fokus kamera harus sudah ditentukan sebelum Howard berangkat ke penjara. Karena ia tidak mungkin melakukan pemfokusan di ruang eksekusi.
Pada malam pelaksanaan eksekusi dengan menyamar sebagai wartawan tulis, Howard berjalan santai menuju ruang kursi listrik di penjara Sing Sing. Tentu saja semua peralatan sudah ia persiapkan.
Pukul 23.06 ketika tubuh Ruth Snyder yang terikat di kursi eksekusi dialiri listrik 2.200 volt. Howard sedikit menarik ke atas celana sebelah kiri, dan dengan tangan yang tersimpan di dalam saku ia membuka rana untuk merekam peristiwa di hadapannya. Eksekusi usai, Howard pun segera ke kantor Daily News.
Ketika dicetak, gambar yang terekam tampak agak kabur. Ini disebabkan Howard membuka rana selama tiga kali dalam total waktu lebih kurang lima detik. Multi exposure ini dilakukan untuk merekam ekspresi Ruth Snyder setiap kali listrik tegangan tinggi menyengatnya.
Sebelum dijadikan gambar kulit muka, hasil bidikan Howard perlu di-croping. Karena pada gambar yang utuh tampak juga kaki-kaki para penonton lainnya. Ini terjadi karena Howard membidik objek dengan kakinya, tentu saja hanya berdasarkan kira-kira.
Setelah dilakukan croping maka terbitlah Daily News 13 Januari 1928 salah satu peristiwa sejarah foto jurnalistik.
Bahan bacaan:
1. Photojournalism, Life Library of Photography, 1976
2. Popular Photography, Maret 1976
3. Popular Photography, Januari 1961

Selasa, 17 Mei 2011

APA ITU ESAI FOTO?

FOTOMEDIA. No. 1. 1994. Arbain Rambey/Kartono Ryadi

Dalam dunia tulis menulis, esai adalah tulisan yang mengangkat suatu masalah tanpa harus memberikan penyelesaian pada suatu persoalan, namun opini penulis sangat menonjol dengan segala kandungan pikirannya, gaya bahasanya bahkan sering dilengkapi "kenakalan" ide.
Dalam jurnalistik foto, esai foto secara umum mempunyai sifat yang sama dengan esai tulisan yaitu mengandung opini dari suatu sudut pandang. Namun dalam prakteknya mempunyai kekhasan karena esai foto di samping terdiri dari tulisan, juga terdiri dari foto.
Pada hakekatnya esai foto merupakan gabungan dari foto berita dan foto features. Foto berita adalah foto yang dibuat tanpa bisa direncanakan sebelumnya, dan yang paling penting terikat aktualitas. Hakekat lain foto berita adalah pentingnya obyek terfoto, serta besar dan tragisnya sebuah kejadian. Sementara, foto features dapat direncanakan, dibuat dan dipublikasikan kapan saja tanpa terikat waktu. Foto features biasanya merupakan nukilan celah-celah kehidupan manusia yang terjadi setiap hari. Gabungan foto berita dan foto features inilah yang membuat sebuah esai foto menjadi "utuh" dan mempunyai "alur" yang sesuai dengan keinginan pembuatnya.
Mengapa esai foto harus memenuhi persyaratan gabungan dari dua jenis foto jurnalistik itu?
Gabungan beberapa foto yang ditampilkan sekaligus tidak selalu merupakan esai foto. Beberapa foto yang diabadikan dari satu sudut tentang kejadian yang berlangsung beberapa detik merupakan photo sequence. Sedangkan foto yang mengabadikan suatu kejadian dalam beberapa saat saja tanpa bumbu lain merupakan foto seri.
Dan karena sebuah esai foto terdiri dari beberapa foto, pemilihan gambar menjadi amat penting. Sang fotografer tidak saja harus mengambil foto, tapi juga harus membuat foto. Not only to take the picture, but to make the picture. Kedekatan fotografer dan obyek yang dipotretnya harus terjalin untuk menghasilkan foto yang baik.
Keterkaitan antar foto
Kualitas sebuah esai foto tidak ditentukan pada jumlah fotonya melainkan pada bagaimana keterkaitan sebuah foto dengan foto yang lain. Yang ikut menentukan pula adalah kroping, tata letak dan ukuran fotonya. Ada foto yang harus dicetak besar, namun ada pula foto yang cuma perlu dicetak kecil tanpa kehilangan "peran"nya.
Sebagai contoh, misalnya akan dibuat esai foto tentang seorang mantan WTS di Jatim yang mengidap virus HIV dan melahirkan bayinya pertengahan Mei lalu. Lepas dari etika, dan apakah foto itu akan dipublikasikan atau tidak, sang fotografer harus menjalin kedekatan dengan sang mantan WTS itu.
Ia harus bertemu secara teratur untuk membuat foto. Bahkan karena konon untuk mengetahui apakah bayi yang dilahirkan itu juga mengidap HIV diperlukan waktu 7 bulan, bisa jadi pula sang fotografer baru bisa menyelesaikan esainya dalam waktu setahun.
Salah satu contoh esai foto yang dibuat dalam waktu cukup lama dan bahkan sampai fotografernya pada proses pembuatannya sempat menjadi korban pemukulan, adalah esai foto tentang tragedi pencemaran lingkungan di Minamata, Jepang.
Pada tahun 1971, Eugene Smith yang berkerja untuk majalah berita bergambar Life, mendengar bahwa pencemaran air raksa di pantai Minamata telah membuat cacat banyak bayi yang lahir di daerah itu. Lalu Smith membuka banyak buku yang membahas tentang efek air raksa pada manusia, dan mempelajarinya.
Dengan bekal pengetahuan yang didapatnya dari buku-buku. Smith lalu merancang "skenario" foto-foto bagaimana yang akan dibuatnya di Minamata agar masalah pencemaran air raksa itu tergambar jelas.
Dari buku pula Eugene Smith tahu bahwa pencemaran air raksa akan membuat anak yang terkena pencemaran itu sejak bayi akan menjadi terbelakang mental berat dengan mimik muka khas. Dengan bekal pengetahuan dari buku ini, Eugene Smith lalu khusus mencari dan akhirnya berhasil mendapatkan foto seorang anak korban pencemaran dari keluarga Uemura yang sedang dimandikan ibunya. Foto ini adalah sebuah foto dari esai fotonya yang menjadi terkenal sekali. Dunia terguncang karena foto itu, dan pabrik penyebab pencemaran, yaitu Chisso, lalu ditutup.
"Saya tidak asal memotret begitu sampai di Minamata. Membuat esai foto adalah membuat beberapa foto dari suatu perencanaan yang ketat." kata Smith dalam wawancara di buku Photojurnalism, The Professionals Approach karangan Kenneth Kobre.
Dari kata-kata Eugene Smith ini jelas bahwa membuat esai foto bukan memotret sebanyak mungkin untuk lalu dipilih setelah dicetak. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa esai foto telah jadi saat direncanakan. Pemotretan yang berlangsung adalah final touch saja walau tidak jarang sedikit merubah skenario yang telah disusun akibat pengalaman lapangan yang didapat kemudian.
Masalah bisa sederhana
Jadi, membuat esai foto memang tidak terlalu sederhana. Selain harus dilengkapi bahan riset, minimal dalam benak sang fotografer telah ada konsep bagaimana jadinya esai foto itu nantinya. Namun yang harus ditekankan pula, esai foto tidak harus berangkat dari masalah yang sangat besar.
Hadiah Pulitzer tahun 1980 jatuh pada esai foto karya Skeeter Hagler dari Dallas Times Herald yang "cuma" menceriterakan kehidupan penggembala sapi di AS.
Namun, Hagler mampu menceriterakan kehidupan "cowboy modern" dengan jelas dan menarik. Terlihat bagaimana penggembala sapi di era 80-an bukanlah seperti dalam film-film western yang selalu menenteng pistol. Bahkan beberapa penggembala melengkapi dirinya dengan helikopter segala. Hal-hal mendasar seperti bagaimana para penggembala itu merokok atau memasak tidaklah dilupakannya.
Sejak 1925
Sejarah esai foto berawal pada tahun 1925 ketika Gardner Cowles dan saudaranya John Cowles melakukan survai tentang minat pembaca surat kabar di AS. Waktu itu Cowles bersaudara melakukan survai berdasarkan penelitian George Gallup yang baru saja lulus dari jurusan Psikologi Universitas Iowa.
Gallup yang juga pengajar di Sekolah Jurnalistik Universitas Iowa, mengatakan bahwa gambar lebih menarik minat pembaca surat kabar daripada tulisan. Dan Cowles bersaudara lalu membuat sebuah sajian yang merupakan gabungan beberapa foto dan tulisan di koran The Sunday Register.
Sajian di The Sunday Register itu dalam waktu singkat mendapat perhatian luas di AS. Redaktur koran lain melihat kepopuleran "narasi fotografi" (Photographic Narration) yang dibuat Cowles bersaudara dengan berbagai perasaan. Ada yang skeptis, namun banyak pula yang kagum pada "gaya baru" dalam berita itu.
Yang pasti, oplah The Sunday Register terbukti melonjak sampai 50 persen semenjak mereka menampilkan esai foto pertama itu. Dan kesuksesan ini membuat Cowles bersaudara berpikir lebih jauh. Kalau cuma sebagai artikel dalam surat kabar saja bisa sukses, bagaimana kalau esai foto itu dibuat sebagai sebuah majalah utuh?
Mulai tahun 1933, Cowles bersaudara mulai memikirkan bentuk dan tata letak majalah yang menitikberatkan penyajiannya dalam bentuk esai foto. Beberapa tenaga lay out yang mengerjakan tata letak The Sunday Register dimintai bantuannya untuk ikut merencanakan majalah "gaya baru" itu. Beberapa tahun berkutat dengan dummy, pada bulan Januari 1937, lahirlah majalah Look.
Namun majalah Look sebenarnya "kebobolan". Mereka yang punya ide, justru majalah lain telah lebih dahulu terbit. Pada bulan November 1936, majalah Life yang juga berorientasi pada berita gambar telah lebih dahulu terbit.
Namun kedua majalah lalu sama-sama menyedot peminat dalam jumlah besar. Bahkan dalam waktu sampai setengah abad kemudian kedua majalah ini mendominasi pasaran dunia. Life lalu mempunyai duplikat dari benua lain, yaitu Paris Match dan Manchette yang terbit di Perancis.
Salah satu edisi Life yang populer adalah saat majalah itu menurunkan laporan bergambar tentang terbunuhnya Martin Luther King pada tahun 1968. Edisi ini bisa dikatakan terjual di seluruh dunia. (Arbain Rambey/Kartono Ryadi, dari berbagai bahan)

Senin, 16 Mei 2011

Wartawan Foto yang Tewas dalam Tugas, Potret Dedikasi dan pengorbanan demi sebuah Profesi

FOTOMEDIA. No 1, 1994. AR Budidarma

Sejarah umat manusia telah mencatat dengan tinta emas, adanya sejumlah wartawan foto yang telah mengorbankan nyawanya dalam tugas. Mereka adalah orang-orang yang dengan penuh dedikasi, berani menghadapi bahaya maut di medan-medan pertempuran, tempat dimana manusia saling membunuh dan memusnahkan.
Dokumentasi sejarah umat manusia tak akan lengkap tanpa pengorbanan para fotojurnalis. Karya-karya mereka, selain menjadi saksi sejarah, juga mampu membentuk opini masyarakat. Bahkan, juga mempengaruhi kebijakan para pengambil keputusan di sejumlah negara, yang menentukan nasib ribuan rakyatnya.
Dunia fotojurnalisme, tak akan pernah melupakan karya monumental Robert Capa, yang pada tahun 1936 berhasil membuat foto dramatis seorang serdadu yang sedang roboh tertembak oleh peluru di Spanyol.
Robert Capa seolah tak pernah menghiraukan, desingan peluru yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. Ia terus memburu foto-foto eksklusif tentang kekejaman perang yang merobek-robek kehidupan manusia. Sampai akhirnya, ia tewas di medan perang, ketika meliput peperangan di Vietnam pada tahun 1954.
Saudara kandung Robert Capa, Cornell Capa, juga seorang fotojurnalis piawai dari majalah Life, majalah yang mempelopori fotojurnalisme, kini meneruskan semangat serta mengabadikan karya-karya fotojurnalis dunia, dalam sebuah wadah bernama International Center of Photography (ICP), yang didirikan di New York pada tahun 1974.
Dedikasi dan keberanian Robert Capa, mengilhami serta menjadi teladan bagi puluhan bahkan ratusan fotojurnalis dari seluruh pelosok dunia. Mereka tak segan-segan mempertaruhkan nyawa mereka untuk membuat foto-foto dokumentasi perang, yang mencabik-cabik kehidupan manusia.
Tahun 1968, para fotojurnalis di seluruh dunia, meratapi tewasnya tiga orang wartawan foto lagi di Vietnam. Mereka adalah Hiromichi Mine, wartawan foto UPI dan Robert Ellison, fotografer free lance yang terbunuh pada tanggal 5 Maret 1968. Lalu menyusul Charles Eggleston, wartawan foto UPI yang juga terbunuh pada tanggal 6 Mei 1968.
Dunia fotojurnalisme kembali kehilangan tiga orang wartawan foto di medan pertempuran pada tahun 1970. Dua orang wartawan foto UPI, masing-masing Sean Flynn dan Dana Stone, tertawan di Kamboja pada tanggal 6 April 1970, dan tak pernah diketahui nasibnya. Menyusul kemudian, Kyoichi Sawada, juga wartawan foto UPI yang tewas dalam pertempuran di Kamboja, 28 Oktober 1970.
Tanggal 10 Februari 1971, juga merupakan hari kelabu bagi dunia fotojurnalis. Hari itu, empat orang wartawan foto hilang dalam medan pertempuran di Laos, dan diduga tewas. Mereka adalah Larry Burroows dari majalah Life, Keisaburo Shimamoto dari majalah Newsweek, Ken Porter dari kantor berita UPI dan Henri Huet, fotojurnalis dari kantor berita AP.
Perang di Indocina, merupakan kancah peperangan yang paling banyak menelan korban wartawan foto. Pada tahun 1972, tiga orang wartawan foto menemui ajalnya di kawasan ini. Mereka adalah Alan Hirons dan Terry Reynolds dari kantor berita UPI yang tewas di Kamboja pada tanggal 26 April 1972, disusul Alexander Shimkin, fotojurnalis majalah Newsweek yang tewas pada tanggal 12 Juli di Vietnam.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 28 April 1975, medan pertempuran di Vietnam kembali meminta korban nyawa seorang fotojurnalis, yakni Michael Laurent, jurufoto kantor berita Gamma yang mendapat penugasan dari majalah Newsweek.
Sesudah itu, daftar fotojurnalis yang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang, masih terus bertambah panjang, seiring makin benyaknya perang di berbagai pelosok dunia.
Perang Teluk, pertempuran di Somalia, kerusuhan IRA di bagian utara Inggris, medan pertempuran di Sarajevo, Bosnia, Serbia dan sejumlah peperangan lainnya di Afrika, menambah panjang daftar nama para fotojurnalis yang telah mengorbankan nyawa mereka.
Yang belum lama terjadi, kantor berita AFP dan Reuters menyiarkan foto Ken Oosterbroek, fotojurnalis suratkabar Johannesburg Star di Afrika Selatan yang tewas tertembak, saat meliput bentrokan berdarah ANC vs Inkatha, Senin 18 April 1994.
Di samping tubuh Ken yang sedang digotong rekan-rekannya, tampak pula Greg Marinovich, fotojurnalis majalah Newsweek yang luka parah terkena tembakan di dadanya, saat meliput pertumpahan darah menjelang pemilu di Afsel tersebut.
Ini cuma sekelumit potret dari sejumlah fotojurnalis yang telah mengorbankan milik mereka yang paling berharga, yaitu nyawa mereka sendiri, karena dedikasi mereka terhadap panggilan profesi yang sangat mereka junjung tinggi. (AR Budidarma)

Senin, 09 Mei 2011

Terungkap setelah 26 Tahun

INDO POS, afp/rtr/hep
Akhir 2006 foto regu tembak mengeksekusi sekelompok orang di Sanadaj, Iran, pada 28 Agustus 1979, ini dinobatkan sebagai pemenang Pulitzer 1980 secara resmi diperkenalkan, setelah 26 tahun tak terungkap fotografernya.

NEW YORK, Sekitar 26 tahun lalu, Komite Pulitzer menganugerahkan penghargaan Spot News Photography kepada fotografer anonim. Identitas fotografer yang mengabadikan foto regu tembak mengeksekusi 11 tahanan itu akhirnya terkuak. Orang di balik karya jurnalisme yang sangat menyentuh itu adalah Jahangir Ramzi, fotografer asal Iran.
"Saat menganugerahkan penghargaan anonim tersebut, kami berharap suatu hari nanti nama sang fotografer akan muncul. Karena itu, kami sangat bahagia harapan itu bisa terwujud setelah menunggu 26 tahun. Pada akhirnya, kami bisa dengan bangga menganugerahkan Hadiah Pulitzer kepada seseorang yang karyanya sudah menjadi ikon," kata Sig Gissler, salah satu pejabat Komite Pulitzer.
Identitas Ramzi kali pertama diungkap Wall Street Journal. Atas izin Ramzi, media Amerika Serikat (AS) itu memublikasikan kiprahnya pada 2 Desember lalu. Komite Pulitzer langsung meneliti berita yang ditulis Wall Street Journal tersebut dan bukti foto yang ada. Hasilnya, Komite Pulitzer yakin Ramzi memang fotografer yang mereka cari selama ini.
Saat dimuat surat kabar Iran pada Agustus 1979, nama Ramzi tidak dicantumkan dalam kredit foto. Atas alasan keamanan, redaktur surat kabar tersebut memutuskan merahasiakan identitas Ramzi.
Atas karyanya, Ramzi berhak mendapatkan Pulitzer Prize dan uang tunai sebesar U$D 10.000. Seharusnya hadiah itu diterimanya pada tahun 1980 lalu saat karyanya dinyatakan sebagai pemenang kategori Spot News Photography. Menurut rencana, Ramzi dan para pemenang lain Pulitzer akan menerima penghargaan jurnalisme tahunan itu pada tahun 2007. (afp/rtr/hep)

Senin, 02 Mei 2011

Melihat Keaslian Foto Digital

KOMPAS, Valens Riyadi, Direktur CV Citraweb Nusa Infomedia, Tinggal di Yogyakarta
E-mail: valens@citra.web.id

Beberapa tahun terakhir ini sering kali muncul kasus peredaran foto tidak senonoh. Mulai dari foto almarhumah Sukma Ayu-Bjah, Syaharani, hingga foto topless Putri Indonesia Artika Sari Dewi. Pertanyaan yang selalu mengiringi kasus tersebut adalah apakah foto tersebut asli atau tidak.
Yang patut dikaji lebih mendalam adalah kriteria foto yang bisa disebut asli. Kesimpulan bisa berujung pada beberapa kondisi, foto tersebut asli dan obyek pelakunya sesuai dengan yang disebut, foto tersebut asli namun obyek hanyalah orang yang mirip dengan orang yang disebut, dan yang terakhir adalah foto tersebut merupakan hasil rekayasa digital.
Dalam berbagai kasus di atas, parameter teknis yang sering disebut adalah EXIF (Exchangeable Image File Format). Format EXIF adalah kumpulan informasi teknis yang dilekatkan pada header file gambar, yang standarnya dikembangkan oleh Japanese Electronics Industry Development Association (JEIDA) sebagai usaha untuk mempermudah dan membuat standar dalam pertukaran data antara perangkat lunak pengolah citra dan perangkat keras seperti kamera. Format EXIF yang dihasilkan oleh kamera tidaklah seragam, tetapi pada umumnya EXIF memiliki data tanggal pengambilan gambar, digital ISO, kecepatan rana, diafragma, dan jenis kamera.
Foto-foto hasil kamera digital dapat dilihat data EXIF-nya dengan menggunakan perangkat lunak khusus seperti EXIFER atau perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop atau ACDSee. Sistem operasi Windows maupun Linux juga menyediakan file browser yang dapat melihat EXIF.
Dulu, saat kita belajar memotret menggunakan film, setiap kali menekan tombol rana kita harus membuat catatan data teknis yang kita gunakan untuk keperluan evaluasi. Pada kamera digital, hal tersebut tidak perlu lagi karena EXIF membantu kita untuk melakukan pencatatan tersebut.
Dalam penggunaan EXIF melacak keaslian foto, pertama-tama harus dilakukan adalah pengecekan format EXIF itu sendiri. Tiap kamera memiliki format EXIF yang tidak persis sama. Format EXIF pada foto yang diselidiki harus dibandingkan dengan EXIF dari foto lain yang difoto menggunakan kamera yang sejenis. Jumlah data dan formatnya harus sama strukturnya.
Jika sama, tidak berarti bahwa kita sudah dapat memastikan bahwa foto tersebut asli. Data EXIF itu harus diuji apakah sesuai dengan tampak visual foto tersebut. Misalnya jika data di EXIF bertuliskan menggunakan lensa tele, tetapi pada foto terlihat lebar seperti menggunakan lensa wide. Tentu saja bisa dipastikan bahwa data EXIF yang ada pada foto tersebut sudah dimanipulasi.
Tanggal pengambilan foto pun bisa dibandingkan jika foto tersebut memuat gambar yang terukur waktunya, misalnya foto kampanye calon presiden di daerah tertentu. Tanggal dan jam yang tertulis di EXIF bisa dibandingkan apakah sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Hubungan antara ISO digital dan kehalusan butiran gambar juga bisa dilihat kewajarannya. Makin tinggi ISO, butir-butir foto akan tampak semakin jelas dan kehalusan fotonya berkurang.
Meskipun banyak menyimpan informasi teknis yang sangat berharga untuk mengira keaslian sebuah foto, EXIF sendiri tidak bisa dijadikan parameter utama. Menggunakan perangkat lunak tertentu, seperti Power EXIF (http://www.opanda.com/en/pe), data EXIF bisa diubah sesuai dengan keinginan kita. Hal ini membuat kita tidak dapat hanya bergantung pada data EXIF saja.
Proses penentuan keaslian sebuah foto tidak bisa berhenti sampai analisis data EXIF saja. Masih ada beberapa unsur lainnya yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dapat dianalisis selain EXIF, terutama dari sisi fotografi. Misalnya, perbandingan besar obyek dan distorsi obyek utama dan latar belakangnya. Latar belakang foto sering kali juga bisa banyak bercerita mengenai lokasi pengambilan foto, hal ini bisa dibandingkan dengan alibi keberadaan obyek foto. Pada proses pengujian ini tentu saja dibutuhkan penelitian yang bersifat non-digital, seperti mencocokkan lokasi dengan tampak visual sebuah foto.
Besaran ukuran file dengan perkembangan teknologi kamera digital juga patut dipertimbangkan. Misalnya sebuah foto kejadiannya pada 5 tahun yang lalu diakui dipotret dengan kamera digital dan disebut ukuran file-nya 20 megapiksel. Tentu saja tidak mungkin karena kamera digital ukuran tersebut baru beredar beberapa tahun belakangan ini.
Warna pada setiap elemen foto juga perlu diuji apakah terasa wajar atau tidak. Jika terdapat sumber cahaya dominan pada sebuah foto, arah jatuh bayangan juga bisa diteliti apakah wajar atau terdapat penyimpangan. Jika pemotretan dilakukan di studio dan menggunakan lampu studio, pada titik mata obyek biasanya juga dapat dilihat posisi dan jenis lampu yang digunakan.
Masih banyak parameter teknis lainnya yang bisa diuji. Parameter ini sangat erat kaitannya dengan teknis fotografi sehingga orang awam yang tidak mengerti fotografi sulit untuk menganalisis foto dengan berbagai parameter teknis tersebut, meskipun orang tersebut bisa dianggap pakar dalam bidang teknologi informasi.
Dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra seperti Photoshop, dapat juga diuji keaslian sebuah foto. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemisahan warna pada setiap lapisan warna. File JPG dengan format RGB, baik 8 maupun 16 bit, terdiri dari tiga lapisan warna, yaitu merah, hijau dan biru. Tiap lapisan warna dilakukan pengubahan level secara drastis. Jika foto merupakan hasil montase (penggabungan) digital, biasanya ada beberapa bagian yang perubahan citranya tidak sama.
Kalaupun pada semua pengujian teknis ini tidak didapatkan tanda-tanda yang tidak wajar, tidaklah berarti suatu foto bisa disebut asli. Kasus foto Artika Sari Dewi bisa dijadikan contoh menarik. Ketua Yayasan Putri Indonesia Wardiman Djojonegoro menuding bahwa foto yang beredar itu adalah rekayasa komputer. Belakangan diketahui bahwa foto yang beredar tersebut adalah asli, hanya, itu bukan foto Artika. Namun, foto dari Miss Tiffany's Universe 2005, yaitu sebuah kontes waria yang berlangsung pada 7 mei lalu di Thailand. Jadi, kalaupun secara teknis sebuah foto bisa disebut asli, masih harus diuji lagi, apakah obyek foto betul-betul adalah orang yang diberitakan.
Cukup banyak detail teknis yang bisa diteliti untuk mengetahui keaslian suatu foto, dan bukan melulu masalah data EXIF. Pada akhir proses pengujian, yang bisa ditentukan ialah apakah sebuah foto adalah wajar atau ditemukan tanda-tanda adanya menipulasi. Sulit untuk menyatakan dengan tegas, apakah suatu foto benar-benar asli.
Valens Riyadi, Direktur CV Citraweb Nusa Infomedia, Tinggal di Yogyakarta
E-mail: valens@citra.web.id