KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Sabtu, 14 Desember 2013

Pergulatan Menjadi Indonesia



Kompas, MYRNA RATNA

Mereka bekerja dengan diam. Tak butuh perayaan, tak butuh pengakuan. Namun, para juru foto Indonesia ini senantiasa bergerak merekam pergolakan sejarah, bahkan kerap mendahului sejarah itu sendiri. Tanpa kehadiran mereka, gema revolusi Indonesia tak akan mengumandang di dunia.
Mereka adalah dua bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan Frans Soemarto (1913-1971)- biasa dijuluki duo bersaudara, yang merupakan pewarta foto dari Indonesian Press Photo Service (IPPHOS). Kegigihan dan keheroikan keduanya dalam merekam dan mewartakan momen-momen bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di kurun waktu 1945-1950 menjadi fokus dalam buku fotografi terbaru IPPHOS Remastered, yang diluncurkan pekan lalu di Galeri Jurnalistik Antara.
Tak banyak yang tahu tentang duo Mendur ini. Namun, sepak terjangnya bisa disaksikan dalam deretan foto hitam putih yang bisa membuat dada kita sesak. Bukan saja karena banyak foto yang belum pernah dipublikasikan, tetapi juga karena kita berutang terima kasih.
Beberapa foto di antaranya telah menghiasi buku-buku sejarah yang diwajibkan di sekolah. Tetapi, pernahkah kita bertanya, siapa pembuatnya, dan seperti apa prosesnya? Karya foto adalah refleksi mata batin sang pemotret. Dan, inilah "dunia dalam" Mendur bersaudara. Tanpa kecintaan yang luar biasa pada tanah air, tanpa keyakinan yang kuat pada visi kemerdekaan, dan yang pasti, tanpa pamrih untuk menjadi populer, tak akan hadir foto-foto heroik yang bisa Anda saksikan di Galeri Jurnalistik Antara sampai tanggal 13 Januari 2014.
Tengoklah sebuah gambar yang sangat familier dalam jejak memori kita, ketika Presiden Soekarno dengan setelan jas putihnya membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediamannya di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945. Bahkan, foto sejarah yang sangat bernilai ini pun baru bisa dipublikasikan oleh harian Merdeka pertama kali pada tanggal 19 Februari 1946 (enam bulan setelah peristiwa terjadi) akibat blokade informasi yang dilakukan pihak penjajah.
Mendur bersaudara harus berjibaku untuk bisa memperoleh kamera, mendapatkan negatif film, dan kemudian memprosesnya di bawah ancaman sensor pihak penjajah. Toh, pada foto-foto itu tak pernah tercantum nama mereka. "Itu hanya buang-buang waktu saja. Lagi pula kami berdiri atas dasar perjuangan." demikian komentar mendiang Alex Mamusung, salah satu pendiri IPPHOS, tentang hal itu.
Kita beralih ke sejumlah foto yang samar dalam ingatan. Di antaranya, kedatangan Soekarno ke Lapangan Ikada, 19 September 1945, untuk menenangkan masyarakat yang marah atas kedatangan pasukan Inggris dan Belanda (negatif repro). Foto buram ini tetap tidak bisa menghapus aura yang terpancar: ekspresi rakyat yang menggelora lewat kepalan tangan, jumlah massa yang menyemut, dan tentu saja sosok Soekarno yang sangat percaya diri.
Rasa haru juga menyeruak menyaksikan front-front rakyat membangun kekuatan dengan kemampuan seadanya. Gurilya Kawanua (KRIS) berpose di studio dengan pakaian terbaik yang mereka punya, satuan Tentara Keamanan Rakyat di Bandung yang menjaga pos-pos pemeriksaan, Laskar Maluku dengan syal di leher berjejal di atas truk, Laskar Barisan Pemberontak Tionghoa dengan senjata bambu runcing berjaga-jaga di jalan. Dukungan juga datang dari sukarelawan India, Filipina, Malaysia yang membentuk International Volunteers Brigade, yang bersama pasukan TNI bertempur di garis depan. Mereka semua memiliki mimpi yang sama Indonesia yang berdaulat.

Sang panglima
Sosok Panglima Besar Soedirman selama ini hanya kita tahu lewat foto buram di buku sejarah, itu pun ketika ia berada di dalam tandu. Namun foto-foto yang ditampilkan di sini adalah sosok yang tegap dan gagah yang memimpin pasukan. Ia muncul di Stasiun Kereta Gambir, 1 November 1946, untuk menghadiri perundingan gencatan senjata dengan Belanda. Lihatlah, masyarakat mengepalkan tangannya menyambut kedatangan sang panglima. Juga, ketika ia menginspeksi pasukan, Mei 1947, dengan latar belakang Candi Borobudur.
Juga, simak foto langka ini, ketika Soekarno memeluk Soedirman yang marah di Istana Presiden Yogyakarta, 10 Juli 1949, Soekarno meminta "adegan" pelukan ini diulang karena Frans Mendur kurang cepat mengabadikannya. Sampai akhirnya kita tiba di halaman foto yang mencuatkan haru, Sultan HB IX memberikan hormat militer pada jenazah Panglima Besar Soedirman yang sudah dikafani, 9 Desember 1950, di Yogyakarta. Kamar yang sederhana, dengan dipan dan sebuah pot kembang, serta seorang petugas yang berdiri dengan sikap sempurna, menggambarkan suasana duka mendalam sekaligus kebersahajaan sang panglima besar.
Duo Alex dan Frans juga merekam dunia "seberang", seperti pasangan-pasangan blasteran Indonesia-Belanda yang dipulangkan ke Indonesia, tentang tawanan Belanda yang akan naik kapal, para pribumi yang menjadi serdadu NICA, tentara Belanda yang bercengkerama dengan anak-anak pribumi yang busung lapar, atau wartawan Belanda yang meliput perundingan . Apakah yang berkecamuk dalam batin mereka? Cemaskah mereka akan masa depannya?
Pesan itu tak akan tersampaikan bila saja juru kamera tak memiliki rasa welas asih, toleran, independen, seperti yang dimiliki duo Mendur. Terlebih, di zaman revolusi segalanya menjadi hitam putih. Kita atau mereka. Teman atau musuh. Namun, Mendur bersaudara berani menerobos batas itu.
Acungan jempol patut diberikan kepada penulis Yudhi Soerjoatmodjo yang melakukan riset mendalam selama bertahun-tahun untuk membuat narasi di balik gambar-gambar yang terpilih di buku ini. Bukan hanya duo Mendur, tetapi juga jejak keberadaan (serta persaingan) IPPHOS, Kantor Berita Antara serta Berita Film Indonesia.
"Awalnya cuma mencari foto untuk pameran 50 tahun kemerdekaan Indonesia, setelah itu kami meneruskan survei negatif IPPHOS. Total yang kami temukan 250.000 negatif. Sayang terjadi krismon, proyek harus berhenti. Tahun 1999, setelah mundur dari Antara, saya meneruskan sendiri penelitian terhadap IPPHOS atas inisiatif dan biaya sendiri. Sempat terputus beberapa tahun, kemudian fokus lagi. Itulah nasib peneliti swasta di RI tercinta," kata Yudhi.
Pameran dan buku foto ini sangat pas hadir di tengah Indonesia yang sedang galau, yang seperti lupa pada akar perjuangannya. Dulu kita bangga akan retorika heroik "Merdeka atau Mati". Kini, jangan-jangan retorika yang pas adalah "Korupsi sampai Mati". (MYRNA RATNA)

Senin, 25 November 2013

Mati & Kematian

- " Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian dan bahwa pahalamu akan dicukupkan nanti di hari akhirat " (QS. 3 : 185)
-  " Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya." (QS. 2 : 28)
- " Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki " (QS 3 : 169)
- Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (QS. 2 : 154)
- "Mahasuci  Allah yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS. 67 : 1-2)

Jumat, 06 September 2013

Utang yang Memiskinkan



KOMPAS, oleh APUNG WIDADI
Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp. 2.023 triliun. Ini berarti rata-rata satu warga negara Indonesia menanggung utang Rp. 8,5 juta. Dampaknya, rakyat semakin miskin.

Total sejak 2004 hingga saat ini peningkatan utang semasa pemerintahan SBY Rp. 724,22 triliun. Akhir 2004 utang pemerintah masih Rp. 1.299,50 triliun. Kenaikan yang sangat signifikan. Ini berdampak pada APBN yang kian tergerus karena harus bayar cicilan pokok dan bunga utang.

Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga Rp. 299,708 triliun, 17,3 persen dari total belanja negara pada APBN Perubahan 2013 (Rp. 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp. 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja negara. Politik anggaran pemerintah kontras memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin.

Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang rata-rata Rp. 259,64 triliun per tahun, 38,3 persen dari total utang per tahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank Dunia, menurut data Dirjen Pengelolaan Utang, per Mei 2013 sekitar Rp. 122 triliun, 21 persen dari total utang. Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp. 95,77 triliun, 16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas.

Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang anti-utang luar negeri pupus sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya.

Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan negara bisa bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005-2012) Rp. 1.584,88 triliun.

Selain menyedot uang negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU No.22/2001 Migas yang belum direvisi, UU No.7/2004 Sumber Daya Air, UU No.30/2007 Energi, UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU No.9/2009 Badan Hukum Pendidikan, UU No.19/2003 BUMN, dan UU No.27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil.

Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional subordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan, melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sektor strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri.

Setidaknya empat argumentasi yang selalu digembar-gemborkan setiap tahun. 
Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan publik dengan biaya dan risiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiskal dan utang semakin baik.

Menyesatkan 
Argumentasi pemerintah itu, jika tak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, defisit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang defisit hanya ditindaklanjuti dengan solusi instan utang, bukan menaikkan pendapatan negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita.

Terkait rasio dengan PDB, melihat dengan kaca mata itu tampak manis rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan, pada 2012 Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen). Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen). Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing.

Alih-alih dengan argumen risiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp. 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam, tetapi beban utangnya dibiayai negara.

Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan jadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahaan SBY, moratorium utang, khususnya dalam negeri, ini cukup realistis karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas.

DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah agar tak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal era Orde Baru yang saat ini terus menyusu kepada negara.
APUNG WIDADI
Peneliti Politik Anggaran
di Indonesia Budget Center