KOMPAS, IRWANDI
Fotografer, Staf pengajar Jurusan Fotografi Fakultas Seni Media Rakam
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
Belum banyak orang tahu bagaimana proses cetak fotografi yang dilakukan oleh para pionir fotografi sebelum revolusi fotografi yang dicetuskan oleh George Eastman, pendiri Kodak Company. Di mana dulu, fotografer meramu sendiri bahan-bahan kimia penunjang munculnya gambar, di kala manusia belum mengenal click and drag di computer.
Sebuah fenomena alam ditangkap oleh Aristoteles pada abad IV sebelum Masehi. Pada saat itu ia melihat imaji hasil proyeksi gerhana matahari yang disebabkan masuknya sinar melalui celah dedaunan, serta prinsip inverted image yang sebelumnya ditemukan oleh seorang filsuf China bernama Mo Ti yang merupakan titik awal ditemukannya fotografi hingga seperti saat ini.
Hasil dari dua penemuan tadi diaplikasikan menjadi sebuah instrument yang disebut Camera Obscura sebagai aid for drawing pada abad XV yang telah dilengkapi dengan apparatus/lensa (lensa pertama kali ditemukan oleh Ibnu Al Haitam) sebagai penguat sinar dan juga dilengkapi dengan cermin untuk memantulkan imaji proyeksi. Pada saat itu belum ditemukan teknologi peka cahaya yang dapat merekam imaji proyeksi ke atas kertas, maka yang dihasilkan pada saat itu adalah gambar hasil goresan tangan yang dibuat berdasarkan proyeksi dari obyek.
Barulah pada abad XIX, tepatnya pada tahun 1826, foto pertama di dunia berhasil dibuat oleh Nicephore Niepce dengan karya sun drawing-nya. Diikuti oleh Jaques Louis Mande Daguerre dan Williams Henry Fox Talbot yang secara terpisah berhasil membuat foto yang lebih permanen (1844). Talbot jugalah yang menemukan metode cetak positif-negatif dalam fotografi yang sampai saat ini masih digunakan terutama dalam fotografi analog.
Cetakan foto pada saat ini hadir dalam jenis dan teknik yang beragam. Daguerre menamakan cetakannya dengan Daguerreotype, yaitu foto yang dibuat di atas lembaran tembaga yang dilapisi dengan perak yang telah di-iodinisasi. Sementara Talbot juga demikian. Ia menamakan temuannya dengan istilah Talbotype atau Calotype, yaitu foto yang dicetak di atas kertas yang telah dilapisi perak klorida (gabungan garam dan perak nitrat).
Di luar itu, ada pula cetakan yang ditemukan oleh pencetus istilah photography, yaitu Sir John Herschel. Herschel menemukan metode cetak yang disebut Cyanotype pada tahun 1842. Cyanotype dikenal juga dengan sebutan blue print yang digunakan para arsitek untuk menduplikasi gambar kerja. Metode cetak Cyanotype merupakan metode yang paling sederhana di antara metode lainnya. Bahan kimia dasar untuk Cyanotype aialah potassium ferricyanida dan ferric ammonium sitrat. Selain itu, Herschel juga menemukan metode cetak Chrysotype pada tahun yang sama.
Saat ini, metode cetak yang dilakukan pada masa awal ditemukannya fotografi sering disebut dengan istilah old print atau old photography process. Ada juga yang menyebutnya dengan early photography process maupun hand made photography.
Beberapa metode dan bahan yang digunakan untuk membuat old print seperti salt print, cyanotype, dan kalitype, relatif mudah dan sederhana. Dengan tahapan yang sederhana tersebut, maka bukan tidak mungkin untuk dilakukan sendiri. Selain itu, proses old print tidak membutuhkan peralatan masinal. Memang ada beberapa peralatan yang jarang dimiliki, seperti timbangan milligram dan gelas ukur kimia. Namun, barang-barang itu mudah didapat dan harganya relatif terjangkau oleh kantong kebanyakan orang.
Bahan kimia yang digunakan pun cukup mudah didapat, seperti perak nitrat, garam (untuk salt print), ferric ammonium sitrat (untuk kallitype), dan potassium ferricyanida (untuk cyanotype). Bahan yang terakhir ini agak mahal dan untuk membelinya harus disertai surat keterangan dari lembaga agar tidak disalahgunakan. Sebaiknya pembuatan old print ini dilakukan secara kolektif karena akan meringankan biaya penyediaan alat dan bahan yang diperlukan. Formula-formula old print dapat ditemukan di berbagai sumber bacaan, seperti buku fotografi dan situs internet.
Secara umum, tahapan dalam membuat old print dapat diuraikan sebagai berikut. Langkah pertama ialah mempersiapkan film negatif yang akan dicetak, film negatif dapat dicetak dengan printer ke atas kertas tipis atau ke atas transparansi (film orto merupakan pilihan terbaik). Ukuran negatif dibuat sesuai dengan ukuran foto yang akan dibuat.
Langkah kedua, melarutkan bahan kimia dengan konsentrasi tertentu. Setelah larut, cairan ini disebut emulsi yang peka cahaya, maka semua ini harus dilakukan dalam ruangan bersirkulasi udara yang baik dan dengan penerangan lampu merah.
Ketiga, mengolesi emulsi cair yang telah disiapkan ke atas kertas yang akan dijadikan kertas foto atau kertas yang akan dicetak dan keringkan.
Langkah berikutnya ialah meletakkan negatif ke atas kertas foto (sebaiknya dopres dengan kaca) dan disinari dengan cahaya ultraviolet atau cahaya matahari selama beberapa menit. Pada saat penyinaran akan terlihat perubahan warna emulsi akibat reaksinya terhadap cahaya. Setelah penyinaran foto dapat langsung dicuci dan dikeringkan, tapi pada beberapa cetakan, sebelum dicuci, foto direndam ke dalam fixer (obat untuk foto hitam putih) terlebih dahulu.
Masih banyak lagi metode old print yang dahulu digunakan orang sebelum ditemukannya kertas foto seperti sekarang ini, seperti albumen print dan bromoil. Namun karena mahalnya bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk membuatnya dan pertimbangan tingkat kesulitan pembuatannya, maka hanya beberapa jenis cetakan saja yang sampai sekarang masih sering dilakukan oleh beberapa kalangan fotografer baik profesional maupun amatir dari beberapa Negara seperti Amerika, Inggris, dan Australia. Bahkan di Negara-negara itu terdapat banyak komunitas old print yang secara berkala mengadakan workshop dan pameran untuk umum.
Old Print bisa menjadi alternatif yang menarik dalam proses cetak fotografi, apalagi di tengah derasnya arus digitalisasi fotografi, old print tentu memiliki daya tarik tersendiri dalam khazanah perfotografian di Indonesia, di era mudahnya manipulasi foto ternyata teknologi kuno pun tetap menarik untuk dilakukan. Daya tarik old print dapat dirasakan dari berbagai sisi, seperti proses perwujudannya, eksperimen dalam mewujudkan old print sangat mungkin dilakukan karena para kreator old print sebenarnya memiliki keleluasaan untuk memodifikasi konsentrasi bahan kimia old print dengan harapan mendapatkan bentuk-bentuk baru.
Dari sisi medianya, beberapa jenis old print dapat diterapkan di berbagai media selain kertas, seperti kain, batu, kayu, dan media lainnya. Sehingga menantang para kreator old print untuk mencobanya. Selain itu, sajian visual old print dapat menampilkan nuansa “tempo doeloe” mampu menggiring penikmat foto untuk me-replay ingatan masa lalunya. Old print pun tentunya akan menarik jika divisualkan dalam berbagai tema seperti arsitektur, pemandangan alam, potret, dan tema lainnya yang dapat dipilih serta disesuaikan dengan appearance old print itu sendiri, sehingga tema-tema tersebut akan memiliki makna yang semakin mendalam.