Kompas, MYRNA RATNA
Mereka bekerja dengan diam. Tak butuh perayaan, tak butuh pengakuan. Namun, para juru foto Indonesia ini senantiasa bergerak merekam pergolakan sejarah, bahkan kerap mendahului sejarah itu sendiri. Tanpa kehadiran mereka, gema revolusi Indonesia tak akan mengumandang di dunia.
Mereka adalah dua bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan Frans Soemarto (1913-1971)- biasa dijuluki duo bersaudara, yang merupakan pewarta foto dari Indonesian Press Photo Service (IPPHOS). Kegigihan dan keheroikan keduanya dalam merekam dan mewartakan momen-momen bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di kurun waktu 1945-1950 menjadi fokus dalam buku fotografi terbaru IPPHOS Remastered, yang diluncurkan pekan lalu di Galeri Jurnalistik Antara.
Tak banyak yang tahu tentang duo Mendur ini. Namun, sepak terjangnya bisa disaksikan dalam deretan foto hitam putih yang bisa membuat dada kita sesak. Bukan saja karena banyak foto yang belum pernah dipublikasikan, tetapi juga karena kita berutang terima kasih.
Beberapa foto di antaranya telah menghiasi buku-buku sejarah yang diwajibkan di sekolah. Tetapi, pernahkah kita bertanya, siapa pembuatnya, dan seperti apa prosesnya? Karya foto adalah refleksi mata batin sang pemotret. Dan, inilah "dunia dalam" Mendur bersaudara. Tanpa kecintaan yang luar biasa pada tanah air, tanpa keyakinan yang kuat pada visi kemerdekaan, dan yang pasti, tanpa pamrih untuk menjadi populer, tak akan hadir foto-foto heroik yang bisa Anda saksikan di Galeri Jurnalistik Antara sampai tanggal 13 Januari 2014.
Tengoklah sebuah gambar yang sangat familier dalam jejak memori kita, ketika Presiden Soekarno dengan setelan jas putihnya membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediamannya di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945. Bahkan, foto sejarah yang sangat bernilai ini pun baru bisa dipublikasikan oleh harian Merdeka pertama kali pada tanggal 19 Februari 1946 (enam bulan setelah peristiwa terjadi) akibat blokade informasi yang dilakukan pihak penjajah.
Mendur bersaudara harus berjibaku untuk bisa memperoleh kamera, mendapatkan negatif film, dan kemudian memprosesnya di bawah ancaman sensor pihak penjajah. Toh, pada foto-foto itu tak pernah tercantum nama mereka. "Itu hanya buang-buang waktu saja. Lagi pula kami berdiri atas dasar perjuangan." demikian komentar mendiang Alex Mamusung, salah satu pendiri IPPHOS, tentang hal itu.
Kita beralih ke sejumlah foto yang samar dalam ingatan. Di antaranya, kedatangan Soekarno ke Lapangan Ikada, 19 September 1945, untuk menenangkan masyarakat yang marah atas kedatangan pasukan Inggris dan Belanda (negatif repro). Foto buram ini tetap tidak bisa menghapus aura yang terpancar: ekspresi rakyat yang menggelora lewat kepalan tangan, jumlah massa yang menyemut, dan tentu saja sosok Soekarno yang sangat percaya diri.
Rasa haru juga menyeruak menyaksikan front-front rakyat membangun kekuatan dengan kemampuan seadanya. Gurilya Kawanua (KRIS) berpose di studio dengan pakaian terbaik yang mereka punya, satuan Tentara Keamanan Rakyat di Bandung yang menjaga pos-pos pemeriksaan, Laskar Maluku dengan syal di leher berjejal di atas truk, Laskar Barisan Pemberontak Tionghoa dengan senjata bambu runcing berjaga-jaga di jalan. Dukungan juga datang dari sukarelawan India, Filipina, Malaysia yang membentuk International Volunteers Brigade, yang bersama pasukan TNI bertempur di garis depan. Mereka semua memiliki mimpi yang sama Indonesia yang berdaulat.
Sang panglima
Sosok Panglima Besar Soedirman selama ini hanya kita tahu lewat foto buram di buku sejarah, itu pun ketika ia berada di dalam tandu. Namun foto-foto yang ditampilkan di sini adalah sosok yang tegap dan gagah yang memimpin pasukan. Ia muncul di Stasiun Kereta Gambir, 1 November 1946, untuk menghadiri perundingan gencatan senjata dengan Belanda. Lihatlah, masyarakat mengepalkan tangannya menyambut kedatangan sang panglima. Juga, ketika ia menginspeksi pasukan, Mei 1947, dengan latar belakang Candi Borobudur.
Juga, simak foto langka ini, ketika Soekarno memeluk Soedirman yang marah di Istana Presiden Yogyakarta, 10 Juli 1949, Soekarno meminta "adegan" pelukan ini diulang karena Frans Mendur kurang cepat mengabadikannya. Sampai akhirnya kita tiba di halaman foto yang mencuatkan haru, Sultan HB IX memberikan hormat militer pada jenazah Panglima Besar Soedirman yang sudah dikafani, 9 Desember 1950, di Yogyakarta. Kamar yang sederhana, dengan dipan dan sebuah pot kembang, serta seorang petugas yang berdiri dengan sikap sempurna, menggambarkan suasana duka mendalam sekaligus kebersahajaan sang panglima besar.
Duo Alex dan Frans juga merekam dunia "seberang", seperti pasangan-pasangan blasteran Indonesia-Belanda yang dipulangkan ke Indonesia, tentang tawanan Belanda yang akan naik kapal, para pribumi yang menjadi serdadu NICA, tentara Belanda yang bercengkerama dengan anak-anak pribumi yang busung lapar, atau wartawan Belanda yang meliput perundingan . Apakah yang berkecamuk dalam batin mereka? Cemaskah mereka akan masa depannya?
Pesan itu tak akan tersampaikan bila saja juru kamera tak memiliki rasa welas asih, toleran, independen, seperti yang dimiliki duo Mendur. Terlebih, di zaman revolusi segalanya menjadi hitam putih. Kita atau mereka. Teman atau musuh. Namun, Mendur bersaudara berani menerobos batas itu.
Acungan jempol patut diberikan kepada penulis Yudhi Soerjoatmodjo yang melakukan riset mendalam selama bertahun-tahun untuk membuat narasi di balik gambar-gambar yang terpilih di buku ini. Bukan hanya duo Mendur, tetapi juga jejak keberadaan (serta persaingan) IPPHOS, Kantor Berita Antara serta Berita Film Indonesia.
"Awalnya cuma mencari foto untuk pameran 50 tahun kemerdekaan Indonesia, setelah itu kami meneruskan survei negatif IPPHOS. Total yang kami temukan 250.000 negatif. Sayang terjadi krismon, proyek harus berhenti. Tahun 1999, setelah mundur dari Antara, saya meneruskan sendiri penelitian terhadap IPPHOS atas inisiatif dan biaya sendiri. Sempat terputus beberapa tahun, kemudian fokus lagi. Itulah nasib peneliti swasta di RI tercinta," kata Yudhi.
Pameran dan buku foto ini sangat pas hadir di tengah Indonesia yang sedang galau, yang seperti lupa pada akar perjuangannya. Dulu kita bangga akan retorika heroik "Merdeka atau Mati". Kini, jangan-jangan retorika yang pas adalah "Korupsi sampai Mati". (MYRNA RATNA)