KOMPAS
ALI MUSTAFA YAQUB
Imam Besar Masjid Istiqlal
Seorang kawan bercerita kepada kami bahwa masyarakat di daerahnya punya
anggapan unik. Apabila ada seorang lelaki yang sudah berhaji dua kali,
ia akan mudah mendapatkan istri yang kedua.
Anggapan ini berasal dari persepsi masyarakat setempat bahwa orang yang
sudah berhaji ulang itu adalah orang yang baik ibadahnya dan baik pula
kantongnya. Maka, dari persepsi itu, status sosial seorang yang sudah
berhaji ulang jadi semakin tinggi. Oleh karena itu, di lingkungan
mayarakat ia jadi rebutan para wanita yang siap jadi istri kedua.
Apabila persepsi seperti itu benar menurut ajaran agama, Nabi Muhammad
SAW bukanlah orang yang baik. Karena selama hidupnya, beliau hanya
berhaji satu kali. Padahal, beliau punya kesempatan tiga kali untuk
berhaji. Beliau juga punya kesempatan berumrah sunah ratusan, bahkan
ribuan kali, tetapi beliau hanya berumrah sunah dua kali. Bandingkan
dengan kita, masyarakat Muslim di Indonesia, yang rata-rata ingin
berhaji setiap tahun dan berumrah setiap bulan.
Mengapa Nabi Muhammad SAW berhaji hanya sekali dan berumrah sunah hanya
dua kali? Apabila beliau tak punya uang bukankah beliau tinggal berkata
saja kepada sejumlah sahabat yang kaya raya, seperti Abdurahman bin Auf
dan Abu Ayyah al-Anshari. Tentu kedua sahabat akan segera menyiapkan
segala sesuatu yang diperlukan Nabi. Namun, Nabi tak pernah
meminta-minta untuk kepentingan pribadi beliau seperti itu.
Setelah Nabi menetap di Madinah, sekurang-kurangnya terjadi tiga hal
penting. Pertama, Nabi menghadapi orang-orang yang memusuhi dan
memerangi beliau, maka Nabi menginfakkan hartanya untuk kepentingan
jihad fisabilillah melawan orang-orang itu. Kedua, akibat perang atau
jihad fisabilillah gugurlah para syuhada yang kemudian menimbulkan
janda-janda dan anak-anak yatim. Maka, harta Nabi diinfakkan untuk
menyantuni para janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.
Ketiga, banyaknya pelajar yang menuntut ilmu dari Nabi Muhammad SAW
sementara mereka tidak punya apa-apa di Madinah, baik harta maupun
keluarga. Mereka tinggal di satu ruangan di Masjid Nabawi yang disebut al-Shuffah.
Sementara untuk keperluan makan, Nabi menganjurkan kepada para sahabat
untuk menjamin pemberian makan kepada mereka. Nabi sendiri setiap hari
memberikan makan kepada 70 pelajar Shuffah.
Keutamaan ibadah sosial
Seandainya berhaji ulang itu lebih utama daripada menyantuni
janda-janda, orang miskin, anak-anak yatim, dan para pelajar yang tidak
mampu, maka Nabi tentu sudah melakukan haji ulang dan atau umrah
berkali-kali. Namun, Nabi tak melakukannya. Nabi justru menegaskan bahwa
penyantun anak yatim akan tinggal di surga bersama Nabi dan tidak
terpisahkan, ibarat jari tengah dan telunjuk.
Nabi juga menegaskan, orang yang menyantuni para janda dan orang-orang
miskin tak ubahnya seperti orang berjihad fisabilillah. Sementara ibadah
haji, apabila memenuhi syarat-syarat sehingga dapat disebut mabrur,
Nabi hanya menjanjikan surga saja kepada pelakunya, tanpa menyebutkan
bersama beliau.
Dari sini dapat dipahami bahwa menyantuni anak-anak yatim, janda-janda,
orang-orang miskin, dan para pelajar yang tak mampu jauh lebih unggul
nilai pahalanya daripada berhaji ulang. Dengan kata lain, ibadah sosial
jauh lebih utama daripada ibadah individual. Begitulah kaidah hukum
Islam menyebutkan. Bagaimanapun, Nabi tak pernah mencontohkan untuk
berhaji ulang atau berulang-ulang berumrah.
Ketika keadaan masyarakat kita sedang sangat terpuruk, potret kemiskinan
dimana-man. Para pakar ekonomi mengatakan, sampai akhir 2011, di
Indonesia masih terdapat 117 juta orang miskin. Tempat ibadah banyak
yang terbengkalai. Apabila keadaan negeri kita masih seperti ini,
pantaskah lalu kita berkali-kali berhaji dan berumrah? Ayat Al Quran
mana yang menyuruh kita melakukan itu? Hadis manakah yang menganjurkan
kita untuk berbuat seperti itu?
Inilah penyakit sosial yang menimpa masyarakat kita dan perlu segera
diobati. Obatnya adalah mengikuti perilaku Nabi dalam beribadah, yaitu
berhaji cukup sekali dan berinfak ribuan kali. Pertanyaan berikutnya,
maukah kita mengobati diri kita dari penyakit sosial yang menimpa kita
itu? Atau kita justru ingin memperparah penyakit yang sedang kita derita
itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar