KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Jumat, 04 Maret 2011

Hadiah Fotografi Pulitzer, Selera Amerika Diakui Dunia

KOMPAS, ARBAIN RAMBEY

Menghargai sebuah benda yang tidak terukur amatlah sulit. Dan benda itu adalah foto jurnalistik. Apa tolok ukur yang harus kita pakai untuk menilainya?
Amerika Serikat (AS), negara yang sanngat menggembar-gemborkan kebebasan dan demokrasi, punya cara tersendiri. Mereka menggabungkan akademisi dan prektisi jurnalistik untuk menilai. Dan muncullah penghargaan Pulitzer untuk fotografi jurnalistik sejak 1942 menyambung penghargaan-penghargaan Pulitzer lain yang sudah diberikan sejak tahun 1917.
Foto jurnalistik adalah berita juga. Dan berita sering jadi alat politik. Masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana embedded journalist yang menempel pada pasukan AS yang menyerang Irak beberapa waktu yang lalu membuat berita dan mengirim foto sesuai keinginan Pemerintah AS semata. Barang kali "tuduhan" serupa akan menempel pula pada foto-foto pemenang Pulitzer.
Tapi, mengamati kumpulan foto pemenang hadiah Pulitzer dalam buku Moment, The Pulitzer Prize-Winning Photographs A Visual Chronicle of Our Time, kita akan berpikir lain. Kenyataannya, foto-foto pemenang Pulitzer terasa berpihak pada "sesuatu yang benar". Secara sekilas pun, foto-foto Pulitzer sulit untuk dituduh menjadi corong AS karena foto-foto terpilih hanyalah foto yang diterbitkan koran lokal AS saja.
Ada beberapa foto pemenang Pulitzer yang justru membuat marah orang AS terhadap pemerintahnya sendiri, misalnya foto karya Paul Watson pemenang penghargaan tahun 1994 untuk kategori berita. Foto ini cukup seram karena menampilkan mayat seorang marinir AS yang diseret-seret warga Mogadishu menyusul kegagalan pasukan AS menyelesaikan konflik internal di Somalia tahun 1993.
Peristiwa ini secara sekilas bisa disaksikan dalam film berjudul Black Hawk Down yang beberapa waktu lalu diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Saat foto Watson ini muncul di koran The Toronto Star, dan juga beberapa koran di AS, banyak orang menuduh foto ini tidak etis dan sadis. Beberapa pelanggan The Toronto Star langsung menyatakan berhenti berlangganan.
Di satu sisi, foto ini memang menimbulkan kemarahan dan kejijikan pada realitas perang. Namun di sisi lain, foto ini menampar Pemerintah AS. Karya Watson ini mengingatkan AS agar tidak usah  ikut campur pada urusan intern negeri lain. Beberapa waktu kemudian, AS menarik seluruh pasukannya dari Somalia.
Pada tahun1970-an, foto pemenang Pulitzer karya Eddie Adams pun membuat masyarakat AS menuntut pemerintahnya agar segera keluar dari Vietnam.
Walau begitu, ada pula foto-foto pemenang Pulitzer yang sekilas tampak "usil" pada tokoh atau kepentingan negara lain. Cobalah tengok foto pemenang Pulitzer kategori berita tahun 1980. Dengan menyembunyikan nama pemotretnya untuk alasan keamanan, foto itu menampilkan adegan eksekusi di sebuah tempat di Iran. Saat itu tahun 1979, Pemerintah Iran di bawah Ayatullah Khomeini mengalami pemberontakan etnis Kurdi. Maka, di beberapa tempat berlangsung pengadilan-pengadilan singkat terhadap pemberontak Kurdi yang tertangkap. Dan pengadilan ini selalu memutuskan hukuman mati.
Panitia Pulitzer tidak menyebutkan nama sang fotografer karena menurut panitia, "Agar sang fotografer tidak mengalami nasib sama dengan adegan fotonya."
Keusilan lain yang khas Amerika adalah foto pemenang kategori feature tahun 1997 karya Alexander Zemlianichenko. Presiden Rusia Boris Yeltsin yang sedang berkampanya untuk pemilihan umum tampak berdansa dengan sebuah band jazz. Di satu sisi, Amerika seperti mengejek Rusia, namun di sisi lain foto ini menguak sisi manusiawi seorang presiden Rusia yang selama ini dianggap sangat "angker".
Selain itu, foto yang juga mengungkap campur tangan AS di negara lain bisa dilihat pada foto karya Carol Guzy pemenang kategori berita tahun 1995. Foto ini menampilkan dua orang serdadu AS yang melindungi seorang yang akan dirajam massa. Konflik internal di Haiti juga membuat Pemerintah AS merasa perlu untuk ikut campur.
Pulitzer juga punya banyak foto yang mewakili hati nurani. Tengoklah foto karya tim Associated Press yang merekam perang saudara dan pengungsian besar-besaran di Rwanda. Serial foto pemenang kategori feature tahun 1995 ini menunjukkan bahwa pada beberapa tempat dan waktu di dunia ini, nyawa manusia tidak ada harganya sama sekali.
Namun, kasus paling terkenal dalam sejarah Pulitzer adalah kasus bunuh dirinya seorang pemenang. Jadi, Kevin Carter yang memenangkan kategori berita tahun 1994 justru merasa bersalah karena ia menang di atas derita orang lain.
Pada awal tahun 1993, Carter mendapat tugas meliput kasus kelaparan di Sudan. Sebuah foto dari liputannya itulah yang kemudian mendapat hadiah Pulitzer pada tahun 1994.
Fotonya yang memenangkan hadiah itu adalah gambar seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan menuju posko pembagian makanan. Di dekat anak itu, seekor burung pemakan bangkai menunggu seakan yakin bahwa anak kecil itu sebentar lagi menjadi santapannya.
Saat menerima hadiah Pulitzer di New York tanggal 23 Mei 1994 di New York, tida ada yang menyangka bahwa Carter telah menyimpan kepedihan tersendiri. Kepada beberapa temannya, Carter mengatakan bahwa ia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu. Ia kuatir kalau anak itu betul-betul dimakan burung pemakan bangkai.
Jadi, saat menerima hadiah Pulitzer itu sebenarnya Carter telah mengalami penderitaan batin yang dalam. Dua bulan kemudian, ia ditemukan mati bunuh diri di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam sebuah suratnya yang ditinggalkannya, Carter menegaskan bahwa ia mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya dibandingkan tugas kemanusiaan.
Kasus Carter di atas bisa dikatakan sebagai kasus ekstrem untuk pekerjaan seorang jurnalis foto.
Akhirnya, Hadiah Pulitzer bisa dikatakan sangat berbau Amerika. Namun, eksekusinya memang sangat didasari hati nurani oleh jurnalis yang telah punya pengalaman banyak.
Pendek kata, Hadiah Pulitzer memang bergaya Amerika. Tapi dia telah mewakili dunia. (ARBAIN RAMBEY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar