KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Jumat, 04 Maret 2011

Henri Cartier-Bresson, Saksi Mata Peristiwa Dunia

KOMPAS, JULIUS POUR

Kehidupan merupakan rangkaian momen detik demi detik. Ini semua membentuk perjalanan waktu teramat panjang. Salah satu detik dari rangkaian tersebut, decisive moment, merupakan momen paling bermakna untuk bisa diabadikan menjadi sebuah foto, lukisan, atau gambar. Atas dasar inilah maka "... hal-hal terkecil sekalipun selalu dapat menjadi tema besar dan kisah tentang manusia secara mendetail yang bisa ditampilkan sebagai ciri khas kehidupan," kata Henri Cartier-Bresson dalam bukunya, Images ala Sauvette.
Maka, inilah yang sepanjang hidup dikejar Bresson ke segenap pelosok dunia. Mulai dari jalan-jalan di Paris yang menggairahkan sampai ke padang belukar Afrika, sejak bordil mesum di Meksiko hingga kemegahan Candi Borobudur. Berkisar dari sosok renta Mahatma Gandhi sampai Bung Karno yang gagah memesona.
Contoh klasik karya Cartier-Bresson berjudul Rue Mouffetard, dibikin tahun 1954. Potret seorang bocah dengan kebanggaan luar biasa menenteng botol minuman keras.
Senyumnya melebar, mengubah lorong kecil kumuh di sudut kota Paris menjadi pentas akbar. Senyuman si bocah dan lirikan kepada botol minuman segera memicu tumbuhnya kegairahan luar biasa yang langsung menyebar ke lingkungan sekeliling.
Sejumlah karya puncah Cartier-Bresson, foto dan lukisan, sampai tanggal 27 Juli mendatang, dipamerkan di Bibliotheque Nationale, Paris. Pameran tersebut sekaligus meresmikan berdirinya Foundation Henri Cartier-Bresson, yayasan nirlaba yang mewarisi semua karya dan dipersembahkan sepenuhnya kepada segala hal yang berkaitan dengan fotografi.
Kantor yayasan ini berada di sebuah gedung abad XIX yang baru dipugar, di Montparnasse, Paris, Perancis. Untuk menandai ualng tahunnya ke-95 nanti, Cartier-Bresson akan menyelenggarakan pameran pribadi bertajuk, Henrie Cartier-Bresson Choice. Maka, sekarang ini ia sedang menyeleksi 93 foto dari 85 karya pemotret sejawatnya, termasuk karya-karya Robert Capa, George Rodger, dan David Seymour.
Bersama ketiga juru foto tersebut, Cartier-Bresson pada tahun 1974 mendirikan Magnum Agency, biro foto yang bertekad menjadi saksi mata atas segala macam peristiwa di pelosok Bumi. Hasil karya mereka segera menjadi tumpuan masyarakat luas.
Sukses Magnum didukung oleh kejayaan majalah-majalah bergambar, media utama yang bisa menyajikan laporan secara visual, di zaman sebelum televisi mengambil alih peran.
Sayang peran Magnum kini semakin surut, seiring perubahan zaman serta berkembangnya pilihan terhadap media massa.
Kemunduran yang tragis, setragis kematian para juru foto Magnum ketika memburu peristiwa. Robert Capa hancur bersama tubuhnya di Vietnam saat menginjak ranjau. David Seymour  terbunuh dalam berondongan tembakan pasukan Israel, dan Werner Bischof mati mengenaskan ketika mobil yang sedang ia tumpangi terguling masuk ke jurang di pedesaan Peru.
Cartier-Bresson lahir tanggal 22 Agustus 1908 dari keluarga kaya di Chantelopup, Paris. Cartier-Bresson muda pada awalnya meniti karier dengan menjadi pelukis surealis dengan mengemban kredo, "... siapa pun harus berani berkelana tanpa arah agar bisa menemukan hal-hal tak terduga."
Kredo tersebut mengantar langkah Cartier-Bresson ke Afrika. Tahun 1931 di Pantai Gading, waktu itu masih koloni Perancis, dia berubah jadi juru foto, sesudah merasa bahwa kamera ternyata lebih mampu untuk mengabadikan sebuah decisive moment.
"Memotret artinya menghayati sesuatu peristiwa. Dan dengan sekejap akan bisa menghadirkan keabadian sekaligus memberi makna terhadap setiap momen termaksud. Artinya, anda mempu menyerasikan gerak otak, mata, dan pandangan. Inilah makna sebuah kehidupan." nasihat Carier-Bresson kepada setiap juru foto.
Berdasarkan pemikiran ini, dia tak pernah merekayasa adegan, bahkan juga tidak senang melakukan cropping, pemanisan posisi dan penyuntingan hasil akhir sebuah foto.
Meski mampu mengjasilkan foto-foto mengagumkan, jejak Carteir-Bresson sangat berliku, misterius, dan sering aneh.
Ia jarang sekali bersedia diambil gambarnya, enggan melakukan wawancara, dan hidupnya penuh petualangan. Ketika Jerman menyerbu Perancis, Bresson langsung bergabung dalam dinas militer. Tahun 1940 dia titangkap, dikirim ke kamp kerja paksa, sampai akhirnya pada Februari 1943, berhasil meloloskan diri dari tahanan dan terjun menjadi gerilyawan.
Seusai perang, jiwanya yang selalu bergejolah mengantarnya ke India, Cina, dan Indonesia. Bresson mengabadikan sosok Mahatma Gandhi, hanya beberapa jam sebelum tembakan, seorang Hindu fanatik telah mengakhiri semuanya.
Di daratan Cina, dia berhasil mengabadikan tumbangnya rezim koumintang dan naiknya kekuasaan komunis, sementara di Indonesia adalah saksi mata selama perang kemerdekaan.
Beberapa tahun yang lalu, di Gedung Arsip Nasional, diselenggarakan pameran sejumlah foto karya Bresson semasa menjelajah Indonesia. Pada tembok pameran, panitia menempelkan selembar kertas tulisan tangan Cartier-Bresson, tertanggal Paris, 15 Februari 2002. "Pour mes amis Indonesiens, Tetap Merdeka. Untuk para sahabatku orang Indonesia, Tetap Merdeka."
Kenangan dan juga jejak Cartier-Bresson di Indonesia memang sangat mendalam. Tahun 1937, dalam keremangan di Kafe Dome, Paris, dia jatuh cinta dalam pandangan pertama kepada seorang penari asal Jawa. Penari ini adalah wanita Indo-Eropa bernama Caroline Jeanne de Souza, bekas istri William Baretti, redaktur koran Sukabumi Post. Tahun itu juga mereka menikah, dan Caroline, lahir di Meester Cornelis (kini Jatinegara) kemudian mengubah namanya menjadi eksotis, Retna Mohini.
Hidup perkawinan mereka bertahan sekitar 14 tahun. Awal tahun 50-an dalam perjalanan di Balikhasztan, Iran, mobilnya menemui kecelakaan. Salah satu jari Retna terluka sehingga tak lagi bisa lelentik. Musibah ini mengakhiri kariernya sebagai penari, dan dilengkapi persoalan pribadi, sebuah perceraian tidak bisa terhindarkan.
Dua hal dilakukan oleh Henri Cartier-Bresson di kala senja usia mulai menjemput. Pertama, menyimpan kamera sekaligus meninggalkan profesinya sebagai juru foto dan malah kembali kepada talenta awal, melukis. Kedua, menikah dengan juru foto Martine Franck. Mereka bertiga, Bresson, Martine dan Melanie, putri tunggalnya, kini tinggal bersama dalam sebuah apartemen di Rue de Rivoli, Paris. Untuk menyongsong peringatan ulang tahun sang juru foto, mereka juga baru saja menerbitkan katalog dalam judul, Henri Cartier-Bresson: The Man, the Image and the World.
Kepada koran The New York Times, Henrie-Cartier-Bresson pernah mengatakan, "Karya foto hanyalah sketsa, sedangkan melukis merupakan meditasi. Selama lima puluh tahun saya sudah pernah menjadi juru foto. Tetapi, berapa banyak pernah kalian lihat karya tersebut dalam waktu lebih dari tiga detik, 50 atau mungkin 100?"
Inilah alasannya sehingga tidak ada satu pun foto tergantung di dinding apartemennya. "Sudah tiga puluh tahun saya tidak lagi mau memegang kamera. Saya tak suka dengan foto karena Anda tak bakal menangkap suasana, hanya kesan selintas.." (JULIUS POUR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar