KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Selasa, 17 Mei 2011

APA ITU ESAI FOTO?

FOTOMEDIA. No. 1. 1994. Arbain Rambey/Kartono Ryadi

Dalam dunia tulis menulis, esai adalah tulisan yang mengangkat suatu masalah tanpa harus memberikan penyelesaian pada suatu persoalan, namun opini penulis sangat menonjol dengan segala kandungan pikirannya, gaya bahasanya bahkan sering dilengkapi "kenakalan" ide.
Dalam jurnalistik foto, esai foto secara umum mempunyai sifat yang sama dengan esai tulisan yaitu mengandung opini dari suatu sudut pandang. Namun dalam prakteknya mempunyai kekhasan karena esai foto di samping terdiri dari tulisan, juga terdiri dari foto.
Pada hakekatnya esai foto merupakan gabungan dari foto berita dan foto features. Foto berita adalah foto yang dibuat tanpa bisa direncanakan sebelumnya, dan yang paling penting terikat aktualitas. Hakekat lain foto berita adalah pentingnya obyek terfoto, serta besar dan tragisnya sebuah kejadian. Sementara, foto features dapat direncanakan, dibuat dan dipublikasikan kapan saja tanpa terikat waktu. Foto features biasanya merupakan nukilan celah-celah kehidupan manusia yang terjadi setiap hari. Gabungan foto berita dan foto features inilah yang membuat sebuah esai foto menjadi "utuh" dan mempunyai "alur" yang sesuai dengan keinginan pembuatnya.
Mengapa esai foto harus memenuhi persyaratan gabungan dari dua jenis foto jurnalistik itu?
Gabungan beberapa foto yang ditampilkan sekaligus tidak selalu merupakan esai foto. Beberapa foto yang diabadikan dari satu sudut tentang kejadian yang berlangsung beberapa detik merupakan photo sequence. Sedangkan foto yang mengabadikan suatu kejadian dalam beberapa saat saja tanpa bumbu lain merupakan foto seri.
Dan karena sebuah esai foto terdiri dari beberapa foto, pemilihan gambar menjadi amat penting. Sang fotografer tidak saja harus mengambil foto, tapi juga harus membuat foto. Not only to take the picture, but to make the picture. Kedekatan fotografer dan obyek yang dipotretnya harus terjalin untuk menghasilkan foto yang baik.
Keterkaitan antar foto
Kualitas sebuah esai foto tidak ditentukan pada jumlah fotonya melainkan pada bagaimana keterkaitan sebuah foto dengan foto yang lain. Yang ikut menentukan pula adalah kroping, tata letak dan ukuran fotonya. Ada foto yang harus dicetak besar, namun ada pula foto yang cuma perlu dicetak kecil tanpa kehilangan "peran"nya.
Sebagai contoh, misalnya akan dibuat esai foto tentang seorang mantan WTS di Jatim yang mengidap virus HIV dan melahirkan bayinya pertengahan Mei lalu. Lepas dari etika, dan apakah foto itu akan dipublikasikan atau tidak, sang fotografer harus menjalin kedekatan dengan sang mantan WTS itu.
Ia harus bertemu secara teratur untuk membuat foto. Bahkan karena konon untuk mengetahui apakah bayi yang dilahirkan itu juga mengidap HIV diperlukan waktu 7 bulan, bisa jadi pula sang fotografer baru bisa menyelesaikan esainya dalam waktu setahun.
Salah satu contoh esai foto yang dibuat dalam waktu cukup lama dan bahkan sampai fotografernya pada proses pembuatannya sempat menjadi korban pemukulan, adalah esai foto tentang tragedi pencemaran lingkungan di Minamata, Jepang.
Pada tahun 1971, Eugene Smith yang berkerja untuk majalah berita bergambar Life, mendengar bahwa pencemaran air raksa di pantai Minamata telah membuat cacat banyak bayi yang lahir di daerah itu. Lalu Smith membuka banyak buku yang membahas tentang efek air raksa pada manusia, dan mempelajarinya.
Dengan bekal pengetahuan yang didapatnya dari buku-buku. Smith lalu merancang "skenario" foto-foto bagaimana yang akan dibuatnya di Minamata agar masalah pencemaran air raksa itu tergambar jelas.
Dari buku pula Eugene Smith tahu bahwa pencemaran air raksa akan membuat anak yang terkena pencemaran itu sejak bayi akan menjadi terbelakang mental berat dengan mimik muka khas. Dengan bekal pengetahuan dari buku ini, Eugene Smith lalu khusus mencari dan akhirnya berhasil mendapatkan foto seorang anak korban pencemaran dari keluarga Uemura yang sedang dimandikan ibunya. Foto ini adalah sebuah foto dari esai fotonya yang menjadi terkenal sekali. Dunia terguncang karena foto itu, dan pabrik penyebab pencemaran, yaitu Chisso, lalu ditutup.
"Saya tidak asal memotret begitu sampai di Minamata. Membuat esai foto adalah membuat beberapa foto dari suatu perencanaan yang ketat." kata Smith dalam wawancara di buku Photojurnalism, The Professionals Approach karangan Kenneth Kobre.
Dari kata-kata Eugene Smith ini jelas bahwa membuat esai foto bukan memotret sebanyak mungkin untuk lalu dipilih setelah dicetak. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa esai foto telah jadi saat direncanakan. Pemotretan yang berlangsung adalah final touch saja walau tidak jarang sedikit merubah skenario yang telah disusun akibat pengalaman lapangan yang didapat kemudian.
Masalah bisa sederhana
Jadi, membuat esai foto memang tidak terlalu sederhana. Selain harus dilengkapi bahan riset, minimal dalam benak sang fotografer telah ada konsep bagaimana jadinya esai foto itu nantinya. Namun yang harus ditekankan pula, esai foto tidak harus berangkat dari masalah yang sangat besar.
Hadiah Pulitzer tahun 1980 jatuh pada esai foto karya Skeeter Hagler dari Dallas Times Herald yang "cuma" menceriterakan kehidupan penggembala sapi di AS.
Namun, Hagler mampu menceriterakan kehidupan "cowboy modern" dengan jelas dan menarik. Terlihat bagaimana penggembala sapi di era 80-an bukanlah seperti dalam film-film western yang selalu menenteng pistol. Bahkan beberapa penggembala melengkapi dirinya dengan helikopter segala. Hal-hal mendasar seperti bagaimana para penggembala itu merokok atau memasak tidaklah dilupakannya.
Sejak 1925
Sejarah esai foto berawal pada tahun 1925 ketika Gardner Cowles dan saudaranya John Cowles melakukan survai tentang minat pembaca surat kabar di AS. Waktu itu Cowles bersaudara melakukan survai berdasarkan penelitian George Gallup yang baru saja lulus dari jurusan Psikologi Universitas Iowa.
Gallup yang juga pengajar di Sekolah Jurnalistik Universitas Iowa, mengatakan bahwa gambar lebih menarik minat pembaca surat kabar daripada tulisan. Dan Cowles bersaudara lalu membuat sebuah sajian yang merupakan gabungan beberapa foto dan tulisan di koran The Sunday Register.
Sajian di The Sunday Register itu dalam waktu singkat mendapat perhatian luas di AS. Redaktur koran lain melihat kepopuleran "narasi fotografi" (Photographic Narration) yang dibuat Cowles bersaudara dengan berbagai perasaan. Ada yang skeptis, namun banyak pula yang kagum pada "gaya baru" dalam berita itu.
Yang pasti, oplah The Sunday Register terbukti melonjak sampai 50 persen semenjak mereka menampilkan esai foto pertama itu. Dan kesuksesan ini membuat Cowles bersaudara berpikir lebih jauh. Kalau cuma sebagai artikel dalam surat kabar saja bisa sukses, bagaimana kalau esai foto itu dibuat sebagai sebuah majalah utuh?
Mulai tahun 1933, Cowles bersaudara mulai memikirkan bentuk dan tata letak majalah yang menitikberatkan penyajiannya dalam bentuk esai foto. Beberapa tenaga lay out yang mengerjakan tata letak The Sunday Register dimintai bantuannya untuk ikut merencanakan majalah "gaya baru" itu. Beberapa tahun berkutat dengan dummy, pada bulan Januari 1937, lahirlah majalah Look.
Namun majalah Look sebenarnya "kebobolan". Mereka yang punya ide, justru majalah lain telah lebih dahulu terbit. Pada bulan November 1936, majalah Life yang juga berorientasi pada berita gambar telah lebih dahulu terbit.
Namun kedua majalah lalu sama-sama menyedot peminat dalam jumlah besar. Bahkan dalam waktu sampai setengah abad kemudian kedua majalah ini mendominasi pasaran dunia. Life lalu mempunyai duplikat dari benua lain, yaitu Paris Match dan Manchette yang terbit di Perancis.
Salah satu edisi Life yang populer adalah saat majalah itu menurunkan laporan bergambar tentang terbunuhnya Martin Luther King pada tahun 1968. Edisi ini bisa dikatakan terjual di seluruh dunia. (Arbain Rambey/Kartono Ryadi, dari berbagai bahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar