KESEDERHANAAN DALAM HITAM PUTIH

Warna secara psikologis punya pengaruh terhadap rasa. Warna-warna tertentu menjadi simbol dari sesuatu. Merah misalnya melambangkan keberanian, hitam melambangkan kemurungan, putih melambangkan kesucian. Warna-warna terang melambangkan keceriaan. Warna hitam putih adalah warna yang menunjukkan kesederhanaan.

Dalam dunia fotografi, warna merupakan salah satu elemen penting dalam membuat suatu karya foto. Menatap karya foto hitam putih, kadang menimbulkan kesan yang lain. Kadang timbul eksotis, mistis, religis dan menunjukkan pernyataan yang lebih bermakna mendalam. Pernyataan Ansel Adam seniman fotografi abad ini "Forget what it looks like. How does is feel?" Menjadi tak berlebihan dalam kontek ini.

Kesederhanaan sebuah kata yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi bangsa yang mempunyai utang ribuan trilyun, kesederhanaan menjadi kata kunci yang semestinya dilakukan mulai dari pejabat kelurahan sampai pejabat paling tinggi beserta wakil-wakil rakyatnya. Mereka semestinya bisa menjadi panutan masyarakat.

Apakah mereka bisa menjadi panutan dalam hal kesederhanaan ?....................................................

Justru dalam kehidupan petani, nelayan, buruh, orang yang terpinggirkan kadang kita malah bisa menemukan contoh kesederhanaan.

Bisakah kita berkesederhanaan? .............................

Senin, 16 Mei 2011

Wartawan Foto yang Tewas dalam Tugas, Potret Dedikasi dan pengorbanan demi sebuah Profesi

FOTOMEDIA. No 1, 1994. AR Budidarma

Sejarah umat manusia telah mencatat dengan tinta emas, adanya sejumlah wartawan foto yang telah mengorbankan nyawanya dalam tugas. Mereka adalah orang-orang yang dengan penuh dedikasi, berani menghadapi bahaya maut di medan-medan pertempuran, tempat dimana manusia saling membunuh dan memusnahkan.
Dokumentasi sejarah umat manusia tak akan lengkap tanpa pengorbanan para fotojurnalis. Karya-karya mereka, selain menjadi saksi sejarah, juga mampu membentuk opini masyarakat. Bahkan, juga mempengaruhi kebijakan para pengambil keputusan di sejumlah negara, yang menentukan nasib ribuan rakyatnya.
Dunia fotojurnalisme, tak akan pernah melupakan karya monumental Robert Capa, yang pada tahun 1936 berhasil membuat foto dramatis seorang serdadu yang sedang roboh tertembak oleh peluru di Spanyol.
Robert Capa seolah tak pernah menghiraukan, desingan peluru yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. Ia terus memburu foto-foto eksklusif tentang kekejaman perang yang merobek-robek kehidupan manusia. Sampai akhirnya, ia tewas di medan perang, ketika meliput peperangan di Vietnam pada tahun 1954.
Saudara kandung Robert Capa, Cornell Capa, juga seorang fotojurnalis piawai dari majalah Life, majalah yang mempelopori fotojurnalisme, kini meneruskan semangat serta mengabadikan karya-karya fotojurnalis dunia, dalam sebuah wadah bernama International Center of Photography (ICP), yang didirikan di New York pada tahun 1974.
Dedikasi dan keberanian Robert Capa, mengilhami serta menjadi teladan bagi puluhan bahkan ratusan fotojurnalis dari seluruh pelosok dunia. Mereka tak segan-segan mempertaruhkan nyawa mereka untuk membuat foto-foto dokumentasi perang, yang mencabik-cabik kehidupan manusia.
Tahun 1968, para fotojurnalis di seluruh dunia, meratapi tewasnya tiga orang wartawan foto lagi di Vietnam. Mereka adalah Hiromichi Mine, wartawan foto UPI dan Robert Ellison, fotografer free lance yang terbunuh pada tanggal 5 Maret 1968. Lalu menyusul Charles Eggleston, wartawan foto UPI yang juga terbunuh pada tanggal 6 Mei 1968.
Dunia fotojurnalisme kembali kehilangan tiga orang wartawan foto di medan pertempuran pada tahun 1970. Dua orang wartawan foto UPI, masing-masing Sean Flynn dan Dana Stone, tertawan di Kamboja pada tanggal 6 April 1970, dan tak pernah diketahui nasibnya. Menyusul kemudian, Kyoichi Sawada, juga wartawan foto UPI yang tewas dalam pertempuran di Kamboja, 28 Oktober 1970.
Tanggal 10 Februari 1971, juga merupakan hari kelabu bagi dunia fotojurnalis. Hari itu, empat orang wartawan foto hilang dalam medan pertempuran di Laos, dan diduga tewas. Mereka adalah Larry Burroows dari majalah Life, Keisaburo Shimamoto dari majalah Newsweek, Ken Porter dari kantor berita UPI dan Henri Huet, fotojurnalis dari kantor berita AP.
Perang di Indocina, merupakan kancah peperangan yang paling banyak menelan korban wartawan foto. Pada tahun 1972, tiga orang wartawan foto menemui ajalnya di kawasan ini. Mereka adalah Alan Hirons dan Terry Reynolds dari kantor berita UPI yang tewas di Kamboja pada tanggal 26 April 1972, disusul Alexander Shimkin, fotojurnalis majalah Newsweek yang tewas pada tanggal 12 Juli di Vietnam.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 28 April 1975, medan pertempuran di Vietnam kembali meminta korban nyawa seorang fotojurnalis, yakni Michael Laurent, jurufoto kantor berita Gamma yang mendapat penugasan dari majalah Newsweek.
Sesudah itu, daftar fotojurnalis yang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang, masih terus bertambah panjang, seiring makin benyaknya perang di berbagai pelosok dunia.
Perang Teluk, pertempuran di Somalia, kerusuhan IRA di bagian utara Inggris, medan pertempuran di Sarajevo, Bosnia, Serbia dan sejumlah peperangan lainnya di Afrika, menambah panjang daftar nama para fotojurnalis yang telah mengorbankan nyawa mereka.
Yang belum lama terjadi, kantor berita AFP dan Reuters menyiarkan foto Ken Oosterbroek, fotojurnalis suratkabar Johannesburg Star di Afrika Selatan yang tewas tertembak, saat meliput bentrokan berdarah ANC vs Inkatha, Senin 18 April 1994.
Di samping tubuh Ken yang sedang digotong rekan-rekannya, tampak pula Greg Marinovich, fotojurnalis majalah Newsweek yang luka parah terkena tembakan di dadanya, saat meliput pertumpahan darah menjelang pemilu di Afsel tersebut.
Ini cuma sekelumit potret dari sejumlah fotojurnalis yang telah mengorbankan milik mereka yang paling berharga, yaitu nyawa mereka sendiri, karena dedikasi mereka terhadap panggilan profesi yang sangat mereka junjung tinggi. (AR Budidarma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar